A.
PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade
terakhir, rakyat Aceh harus menjalami kehidupan dalam suasana konflik. Dimana
konflik ini terjadi melalui
pemberontakan yang diwujudkan sebagai
bentuk kekecewaan terhadap pembangunan yang terjadi di Aceh yang disebabkan oleh gerakan separatis.
Kelompok kecil yang dipimpin oleh Hasan Tiro ini memproklamirkan kemerdekaan di
Aceh pada tanggal 4 desember 1976 dan memproklamirkan diri sebagai kelompok
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aspirasi kelompok separatis GAM sebagian besar juga
didasari latar belakang sejarah yang menyatakan bahwa Aceh tidak pernah ikut
serta dalam peraturan zaman colonial Belanda dan tidak pernah menjadi bagian
dari bangsa Indonesia. Munculnya kelompok ini ditangggapi oleh Orde Baru dengan
cara represif . hasil dari konflik antara ribuan anggota GAM dan TNI yang
berlarut-larut membuat Orde Baru mengirimkan ribuan tentara sebagai alat untuk
menumpas pemberontakan separatis GAM.
Konflik yang
berlarut-larut atas adanya perbedaan kepentingan antara Indonesia dan GAM
kemudian menarik perhatian dunia internasional untuk menanganinya. Desakan agar
Indonesia bisa menyelesaikannya dengan segera kemudian mengadirkan pihak ketiga
dari badan organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang ingin segera menangani krisis
di Indonesia.
Upaya mediasi
Indonesia-GAM sudah beberapa kali dilakukan. Dikatakan bahwa mediasi adalah
Metode untuk menghentikan konflik melalui orang ketiga.[1]
Adapun pihak ketiga sebagai mediator yang pernah hadir dalam upaya penyelesaian
konflik Indonesia –GAM mengalami kegagalan. Misalnya saja Henry Dunant Center
(HDC). Setelah kegagalan dari HDC, pihak mediator lain yang mencoba untuk
meredakan konflik antara Indonesia-GAM adalah Crisis Management Initiative (CMI).
CMI adalah sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak dibidang
resolusi konflik. Sebagai NGO yang bergerak di bidang resolusi konflik, CMI
kemudian memperjelas misinya tersebut
dengan memfokuskan perhatian pada beberapa komitmen penting. Pada dasarnya CMI
mempunyai komitmen untuk mencegah meluasnya konflik, membangun manajemen yang
kokoh dalam penyelesaian konlik dan membangun perdamaian yang berkelanjutan.
Tidak hanya itu, CMI juga berperan aktif dalam membangun dan mendorong
terciptanya kehidupan yang demokratis
serta kampanye bagi pembangunan yang adil disetiap Negara sehingga dapat
tercipta perdamaian dunia. Organisasi ini di dirikan pada tahun 2000 oleh
Martti Ahtisaari.
B.
PEMBAHASAN
Konflik merupakan
aktualisasi dari perbedaan dan pertentangan antara dua pihak atau lebih.[2] Dimana
hasil akhir dari sebuah konlik hanya ada dua yaitu kehancuran atau new consensus (kesepakatan baru).[3]
Mengenai konlik yang terjadi antara pemerintah RI dan GAM, itu diakibatkan
perbedaan kepentingan yang tidak sama. Yaitu GAM ingin memisahkan diri dari
NKRI dan mendirikan Republik Islam Aceh sementara pemerintah RI tetap
menginginkan Aceh tetap menjadi bagian dari NKRI.
Konflik antara
pemerintah RI dan GAM berlangsung lama dimana, Serangan pertama GAM pada tahun 1977 Pada tahap ini, jumlah pasukan
yang dimobilisasi oleh GAM sangat terbatas meskipun telah ada ketidakpuasan
cukup besar di Aceh dan simpati yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak
mengundang pastisipasi aktif massa.
Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang bergabung
dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari
desa Hasan di Tiro yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di
Tiro, sementara yang lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat.
Kemudian Pada
akhir tahun 1979, tindakan penekanan
yang dilakukan militer Indonesia telah menghancurkan GAM , pemimpin-pemimpin
GAM Berakhir di pengasingan, dipenjara atau dibunuh. pengikutnya tercerai berai
melarikan diri dan bersembunyi. Para pemimpinya seperti Di Tiro melarikan diri
keluar negeri dan cabinet asli GAM berhenti berfungsi.
kemudian pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan
Libya untuk GAM, Tidak jelas apakah Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi
yang pasti disediakan adalah tempat perlindungan dimana para serdadu GAM bisa
menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan. Sejumlah pejuang GAM dilatih
oleh Libya selama periode 1986-1989.
Setelah
kembalinya peserta pelatihan GAM dari Libya pada tahun 1989. Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi
merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan
pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan
pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-RI. Tindakan kelompok GAM yang agresif ini dikatakan
sebagai kekerasan langsung seperti yang di kemukakan oleh Johan Galtung bahwa
kekerasan ada 3 yaitu kekerasan langsung (pembunuhan, pemerkosaan dll),
kekerasan structural (kebijakan Negara yang mengandung unsure kekerasan) dan
kekerasan budaya, agama, rasa dan etis.[4] Dimana
penyebab terjadinya kekerasan yaitu adanya sifat bawaan dalam system Negara
secara internasional, budaya kekerasan yang dominan, keyakinan bahwa kekerasan
tidak bisa dihindari.[5]
Tindakan
kelompok GAM yang agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan
tindakan represif. Periode antara tahun 1989 an dan 1998 kemudian dikenal
sebagai era DOM, Daerah Operasi Militer.
Langkah ini meskipun secara taktik berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM,
telah mengakibatkan korban dikalangan penduduk sipil local di Aceh. Karena
merasa terasing dari RI setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh
kemudian memberi dukungan dan membantu GAM membangun kembali organisasinya
ketika militer Indonesia hamper seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden
Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto.
Kemudian pada tahun 1999, terjadi pemberontakan tahap
kedua, hal ini disebabkan kekacauan di jawa dan pemerintah pusat yang tidak
efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi GAM, kali ini
dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1999 penarikan
pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian
mengakibatkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini
telah meningkat menjadi sekitar 15.000.
Pada fase ini,
ada dua periode penghentian konflik singkat yaitu “jeda kemanusiaan” tahun 2000
dan “cessation of hostities Agreement (COHA)” berlangsung antara desember 2002
ketika ditanda tangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia
menyatakan “darurat militer” di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan
GAM sekali dan untuk selamanya.
Memburuknya
kondisi keamanan di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras diluncurkan pada
tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan
operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan
darurat dinyatakan di provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer
diperpanjang selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan. Militer
indoneisa kembali melakukan pelanggaran hak asasi menusia dalam operasi ini
seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi ditujuh
bulan pertama darurat militer dan pembunuhan diluar hokum yang umum.
Konflik yang
berlarut-larut atas adanya perbedaan kepentingan antara Indonesia-GAM kemudian
menarik perhatian dunia internasional untuk menanganinya. Desakan agar
Indonesia bisa menyelesaikannya dengan segera kemudian menghadirkan pihak
ketiga dari badan Organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang ingin segera menangani
krisis di Indonesia.
Suatu konflik
tentu membutuhkan suatu penyelesaian. Dimana penyelesaian konlik ada dua yaitu,
jalur formal (jalur litigasi) dan jalur informal (jalur nonlitigasi).[6]
Pada jalur informal, ada beberapa cara yang bisa digunakan diantaranya adalah
mediasi dan arbitrase. Mediasi adalah metode untuk menghentikan konflik melalui
orang ketiga.[7]
Orang ketiga maksudnya adalah sebagai mediator. Dimana mediator harus berada
pada posisi netral dan tidak memihak.[8]
Sementara yang dimaksud dengan arbitrase yaitu suatu tindakan hukum dimana ada
pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang atau
lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seseorang atau ahli yang disepakati
bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan mengikat.[9]
Upaya perdamaian
Indonesia-GAM sudah beberapa kali dilaksanakan. Adapun pihak ketiga sebagai
mediator yang pernah hadir dalam upaya penyelesaian konflik tersebut mengalami
kegagalan. Contohnya Henry Dunant Center (HDC). Yayasan ini berdiri pada tahun
1999. Keterlibatan HDC di Indonesia dimulai pada bulan agustus ketika presiden
Abdul Rahman Wahid meminta HDC untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan guna
menyelesaikan konflik Aceh. Ketika berpidato di HDC pada tanggal 30 januari
2000, Abd Rahman Wahid menekankan pada peran ideology. Permintaan ini kemudian
ditanggapi positif oleh HDC. Aksi pertama yang dilakkan HDC adalah dengan
membawa RI-GAM secara bersama-sama ke meja perundingan pada bulan januari 2000
yang kemudian di susul dengan serangkaian dialog yang dihadiri kedua belah
pihak .
Program manajer
HDC, David Gorman mengatakan meskipun situasi di Aceh agak memanas dalam 2
minggu terakhir, namun itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan
perjanjian yang telah ditanda tangani pada 9 desember, dimana perjanjian itu
ditanda tangani setelah kedua belah pihak menyadari bahwa senjata tidak akan
member penyelesaian terhadap konflik. Menurut David, hingga saat ini masyarakat
Aceh tetap menginginkan proses perdamaian dilanjutkan. Karenanya ia
mengharapkan tidak ada pihak-pihak yang meragukan efektifitas perdamaian,
diantaranya yaitu dengan tidak memprotes keberdaan anggota tim tripartit,
dimana anggota tim tripartit disebar di 8 kabupaten di Aceh, berjumlah 144 orang,
pemerintah RI, GAM dan HDC masing-masing menempatkan 48 anggotanya dalam tim
itu. Namun, upaya yang dilakukan oleh HDC ini mengalami kebuntuan pada april
2003 dan HDC dianggap gagal sebagai pihak ke tiga. Pada dasarnya konflik
bukanlah sesuatu hal yang sederhana dan mudah untuk di selesaikan.[10]
Kegagalan
mediasi tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh HDC
sendiri sebagai pihak mediator, tetapi pihak yang berkonflik yang tidak memakai
akal yang rasional dalam penyelesaiannya bahkan lebih menginginkan konflik yang
ada terus berlanjut karena dirasa lebih efektif dalam mencapat tujuan. Perbedaan
tujuan Indonesia-GAM memang sangat bertolakbelakang sehingga membuat
penyelesaian susah terjadi. GAM menginginkan agar Aceh dapat memisahkan diri
dari Indonesia dan berdaulat penuh sedangkan Indonesia tentu saja berjuang
mempertahankan Aceh sebagai perjuangan untuk mempertahankan keutuhan NKRI.
Setelah
kegagalan dari HDC, pihak mediasi lain yang mencoba untuk meredakan konflik
antara Indonesia dan GAM adalah Crisis Management Initiatives (CMI). Proses
mediasi dimulai pada akhir 2005 dimana perundingan antara RI-GAM mulai
dilaksanakan di Helsinki, Finlandia. Dalam perundingan ini, RI mengirim tiga
utusan, yakni Hamid Awaluddin (Menteri Keadilan dan HAM) sebagai ketua,
kemudian dibantu juga oleh Farid Husein (Menteri Komunikasi dan Informasi) dan
juga Sofyan Djalil (Deputi Menteri Kesejahteraan Masyarakat dan Putra asli
Aceh). Sementara pihak GAM mengirimkan lima utusan, yakni Malik Mahmud (perdana
menteri pemerintah Aceh), Dr. Zaini Abdullah (Menteri Luar Negeri GAM),
Bahktiar Abdullah (Juru Bicara), Nuri Djuli dan Juga Nurdin Abdul Rahman
(Pejabat Politik). Selain itu pihak GAM juga dibantu oleh pihak asing, yaitu
Damien Kingsbury akademisi dari Australia yang memberikan saran-saran selama
perundingan.
Pada Mei 2005
akhirnya pemerintah Indonesia mencabut status “state of emergency” di Aceh. Dan
juli 2005, pemerintah RI dan utusan GAM sepakat untuk membuat MoU (Memorandum
of Understanding). MoU di tandatangani di Finlandia oleh kedua belah pihak,
Malik Mahmud sebagai perwakilan dari pihak GAM sementara pihak RI diwakili oleh
Hamid Awaluddin dan disaksikan oleh Martti Ahtisari sebagai fasilitator selama
proses negosiasi setelah melalui lima putaran perundingan.
· Perundingan putaran pertama, dilaksanakan tanggal 28-31 januari 2005, CMI
melakukan perundingan secara terpisah antara RI dan GAM. Dalam perundingan hari
pertama terjadi dead lock karena
kedua belah pihak tetap pada posisi dasar tuntutan mereka. Pihak RI menawarkan
solusi dengan memberikan otonomi khusus tetapi tetap dalam kerangka NKRI, otonomi
khusus ini bersifat informal dan tidak ada internasionalisasi. Hal tersebut
mendapatkan respon penolakan dari pihak GAM. Mereka menolak tawaran otonomi
khusus dan tetap mengajukan konsep self-determination
(kemerdekaan). Pada perundingan ini, CMI memberikan solusi bahwa seharusnya
perundingan dimulai dengan membahasa persoalan yang ringan dan tidak mencakup
substansi dari tuntutan kedua belah pihak.Sehingga perundingan pertama ini
belum menghasilkan kesepakatan apapun.
· Perundingan Putaran Kedua, berlangsung dari
tanggal 21-23 Februari 2005. Dalam perundingan ini suasana mulai memanas dan
menyentuh substansi. Agenda utama dari perundingan ini adalah pembicaraan
mengenai otonomi khusus. Pihak Indonesia menyatakan protes atas keterlibatan
warga negara Australia sebagai penasihat GAM yaitu Damian Kingsbury. Selain itu
Indonesia juga menyatakan protes atas serangan terhadap satuan Zeni TNI AD yang
melaksanakan tugas kemanusiaan. Dalam perundingan ini Indonesia tetap
bersikeras bahwa penyelesaian konflik RI-GAM harus diselesaikan melalui otonomi
khusus.
Namun pihak GAM
tetap bersikeras menolak usulan otonomi khusus dan menuntut pemberlakuan status
quo untuk penyelesaian baru. Selain itu pihak GAM juga menuntut pemberlakuan cease fire (gencatan senjata) dan pihak
GAM juga ingin menghadirkan Polisi Internasional serta menuntut Aceh sebagai “Demilitarisazed Zone”. GAM juga meminta
agar RI membebaskan semua tahanan politik. GAM beranggapan bahwa masalah Aceh
adalah masalah Internasional maka dari itu pihak GAM dibantu Damien Kingsbury
telah menyiapkan tiga program sebagai agenda utama dalam konsep self-government.
Dalam
perundingan putaran kedua ini pihak CMI khususnya Martti Ahtisaari merasa
kecewa terhadap GAM dan menekankan agar pihak GAM bersedia berunding mengenai
konsep otonomi khusus yang ditawarkan oleh RI. Intinya perundingan putaran
kedua ini belum menghasilkan keputusan apapun selain kesediaan GAM untuk
mempelajari usulan kerangka otonomi khusus dari pihak RI
· Perundingan Putaran Ketiga, berlangsung pada
12-16 April 2005. Pada tahap ini kedua belah pihak sepakat untuk meninggalkan
terlebih dahulu tentang konsep otonomi khusus dan self-government. Dalam
perundingan ini, kedua belah pihak lebih membicarakan tentang agenda-agenda
yang lebih memungkinkan bagi masa depan Aceh seperti, partai politik, keuangan
dan perdagangan, perpajakan, security
agreement, amnesty, demobilisasi
dan pelanggaran HAM, dan outside
monitoring. Pada putaran ketiga ini konsep self-determination yang sebelumnya diajukan oleh pihak GAM diubah
menjadi self-government sebagai jalan
bagi penyelesaian konflik.
· Perundingan Putaran Keempat, berlangsung
padaa tanggal 26-31 Mei 2005. Masalah utama yang dibahas adalah mengenai
soal-soal partisipasi politik dan keamanan “by
rebels” dalam kerangka self-government.
Tahap keempat ini merupakan tahap kritis kedua. Masalah yang paling alot
dibicarakan adalah mengenai penerjemahan self-government
dan masalah partisipasi politik GAM. Pada perundingan tahap ini pihak CMI
menawarkan untuk menyusun draft MoU yang akan menjadi pembicaraan pada putaran
perundingan berikutnya. Agenda-agenda pembicaraan inilah yang akhirnya menjadi
draft awal MoU Helsinki dari CMI.
Intinya, pada tahap ini belum ada kesepakatan pasti antara kedua belah
pihak mengenai substansi self-government
dan masalah partai politik.
· Perundingan Putaran Kelima, berlangsung pada
tanggal 12-17 Juli 2005. Agenda pembicaraan pada perundingan ini adalah
penarikan mundur kekuatan bersenjata dari kedua belah pihak,pengaturan
pemberian amnesti dan kompensasi ekonomi untuk GAM. Namun persoalan mengenai
partai politik lokal merupakan agenda yang paling rumit dan belum memperoleh
persetujuan dari pemerintah RI dan
karenanya pada perundingan tahap ini hampir terjadi dead lock. Namun melalui lobi-lobi intensif yang dilakukan oleh
Martti Ahsari dan Juha Christensen dan juga pendekatan yang dilakukan oleh
wakil presiden Jusuf Kalla sempat terjadi pertukaran draft dan diskusi mengenai
pendirian partai lokal sampai akhirnya dicapai kesepakatan bahwa pemerintah RI
akan memfasilitasi pendirian partai lokal dalam jangka waktu satu tahun atau
paling lambat 18 bulan setelah kesepakatan ditanda tangani.
Dengan
disetujuinya tuntutan GAM ini, maka seluruh butir-butir MoU telah disepakati
oleh kedua belah pihak. Sehingga pada tanggal Agustus 2005 GAM dan RI
bersepakat menanda tangani MoU Helsinki sebagai akhir dari penyelesaian konflik
RI-GAM yang telah berlangsung selama 30 tahun.
C.
KESIMPULAN
Konflik bisa
diartikan sebagai suatu pergerakan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih
dengan dasar kepentingan yang tidak sama.[11]Perbedaan
kepentingan merupakan salah satu dari penyebab terjadinya konflik.[12]
Dimana Konflik antara pemerintah RI dan
GAM yang diakibatkan perbedaan kepentingan telah berlangsung sejak tahun 1976
dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa.
Konflik yang
berlarut-larut atas adanya perbedaan kepentingan antara Indonesia dan GAM kemudian
menarik perhatian dunia internasional untuk menanganinya. Desakan agar
Indonesia bisa menyelesaikannya dengan segera kemudian mengadirkan pihak ketiga
dari badan organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang ingin segera menangani krisis
di Indonesia.
pihak mediator yang
mencoba untuk meredakan konflik antara Indonesia-GAM adalah Crisis Management Initiative (CMI). CMI adalah sebuah organisasi non pemerintah
yang bergerak dibidang resolusi konflik.
Sebagai NGO yang bergerak di bidang
resolusi konflik, CMI kemudian
memperjelas misinya tersebut dengan memfokuskan perhatian pada beberapa
komitmen penting. Pada dasarnya CMI mempunyai komitmen untuk mencegah meluasnya
konflik, membangun manajemen yang kokoh dalam penyelesaian konlik dan membangun
perdamaian yang berkelanjutan. Tidak hanya itu, CMI juga berperan aktif dalam
membangun dan mendorong terciptanya kehidupan yang demokratis serta kampanye bagi pembangunan
yang adil disetiap Negara sehingga dapat tercipta perdamaian dunia. Organisasi
ini di dirikan pada tahun 2000 oleh Martti
Ahtisaari. MCI sebagai mediator mampu memposisikan dirinya dengan baik
karena dia dari pihak netral yang berasal dari NGO, dan tidak punya kepentingan
politik apapun sehingga dia mampu bersikap netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan
sengketa.[13]
[1]Materi Mediasi dan Arbitrase oleh Asri T. (perkuliahan tanggal 28.09.2015)
[2]Bambang sutiyoso, Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi
(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2014), h. 29.
[3]Materi Konflik dan Kekerasan oleh Asri T (Perkuliahan tanggal 05.10.2015)
[4]Materi Kekerasan dan Perdamaian oleh Asri T (perkuliahan tanggal
12.10.2015)
[5]Tri Subagya, Resolusi Konflik dan Proses Perdamaian, 2015.
[6]Bambang sutiyoso, Aktualita Hukum Dalam Era Reformsi, h.
30.
[7]Materi Mediasi dan Arbitrase oleh Asri T (perkuliahan tanggal 28.09.2015)
[8]Rustan, Diskursus Integrasi Mediasi (cet. Ke-1; Makassar; Dua satu Press,
2014), h. 76.
[9]Chandra Irwan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
di Luar Pengadilan (Bandung: CV.Mandar Maju, 2010), h. 51.
[10]Bambang sutiyoso, Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi, h.
33.
[11]Materi Konflik dan Kekerasan oleh Asri T (Perkuliahan tanggal 05.10.2015)
[12]Yusuf Al-Aqshari, Manajemen Konflik (Indonesia, Rabbani
Press), h. 192
[13]Rustan, Diskursus Integrasi, h. 76.
Komentar
Posting Komentar