Langsung ke konten utama

Konflik Antara RI-GAM

A.    PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade terakhir, rakyat Aceh harus menjalami kehidupan dalam suasana konflik. Dimana konflik ini terjadi  melalui pemberontakan yang  diwujudkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pembangunan yang terjadi di Aceh  yang disebabkan oleh gerakan separatis. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Hasan Tiro ini memproklamirkan kemerdekaan di Aceh pada tanggal 4 desember 1976 dan memproklamirkan diri sebagai kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aspirasi kelompok separatis GAM sebagian besar juga didasari latar belakang sejarah yang menyatakan bahwa Aceh tidak pernah ikut serta dalam peraturan zaman colonial Belanda dan tidak pernah menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Munculnya kelompok ini ditangggapi oleh Orde Baru dengan cara represif . hasil dari konflik antara ribuan anggota GAM dan TNI yang berlarut-larut membuat Orde Baru mengirimkan ribuan tentara sebagai alat untuk menumpas pemberontakan separatis GAM.
Konflik yang berlarut-larut atas adanya perbedaan kepentingan antara Indonesia dan GAM kemudian menarik perhatian dunia internasional untuk menanganinya. Desakan agar Indonesia bisa menyelesaikannya dengan segera kemudian mengadirkan pihak ketiga dari badan organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang ingin segera menangani krisis di Indonesia.
Upaya mediasi Indonesia-GAM sudah beberapa kali dilakukan. Dikatakan bahwa mediasi adalah Metode untuk menghentikan konflik melalui orang ketiga.[1] Adapun pihak ketiga sebagai mediator yang pernah hadir dalam upaya penyelesaian konflik Indonesia –GAM mengalami kegagalan. Misalnya saja Henry Dunant Center (HDC). Setelah kegagalan dari HDC, pihak mediator lain yang mencoba untuk meredakan konflik antara Indonesia-GAM adalah Crisis Management Initiative (CMI).  CMI adalah sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak dibidang resolusi  konflik. Sebagai NGO  yang bergerak di bidang resolusi konflik, CMI kemudian  memperjelas misinya tersebut dengan memfokuskan perhatian pada beberapa komitmen penting. Pada dasarnya CMI mempunyai komitmen untuk mencegah meluasnya konflik, membangun manajemen yang kokoh dalam penyelesaian konlik dan membangun perdamaian yang berkelanjutan. Tidak hanya itu, CMI juga berperan aktif dalam membangun dan mendorong terciptanya kehidupan yang  demokratis serta kampanye bagi pembangunan yang adil disetiap Negara sehingga dapat tercipta perdamaian dunia. Organisasi ini di dirikan pada tahun 2000 oleh Martti  Ahtisaari.
B.    PEMBAHASAN
Konflik merupakan aktualisasi dari perbedaan dan pertentangan antara dua pihak atau lebih.[2] Dimana hasil akhir dari sebuah konlik hanya ada dua yaitu kehancuran atau new consensus (kesepakatan baru).[3] Mengenai konlik yang terjadi antara pemerintah RI dan GAM, itu diakibatkan perbedaan kepentingan yang tidak sama. Yaitu GAM ingin memisahkan diri dari NKRI dan mendirikan Republik Islam Aceh sementara pemerintah RI tetap menginginkan Aceh tetap menjadi bagian dari NKRI.
Konflik antara pemerintah RI dan GAM berlangsung lama dimana, Serangan pertama GAM pada tahun 1977 Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM sangat terbatas meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang pastisipasi aktif massa.  Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari desa Hasan di Tiro yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di Tiro, sementara yang lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat.
Kemudian Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah menghancurkan GAM , pemimpin-pemimpin GAM Berakhir di pengasingan, dipenjara atau dibunuh. pengikutnya tercerai berai melarikan diri dan bersembunyi. Para pemimpinya seperti Di Tiro melarikan diri keluar negeri dan cabinet asli GAM berhenti berfungsi.
kemudian pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, Tidak jelas apakah Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah tempat perlindungan dimana para serdadu GAM bisa menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan. Sejumlah pejuang GAM dilatih oleh Libya selama periode 1986-1989.
Setelah kembalinya peserta pelatihan GAM dari Libya pada tahun 1989. Operasi  yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-RI. Tindakan kelompok GAM yang agresif ini dikatakan sebagai kekerasan langsung seperti yang di kemukakan oleh Johan Galtung bahwa kekerasan ada 3 yaitu kekerasan langsung (pembunuhan, pemerkosaan dll), kekerasan structural (kebijakan Negara yang mengandung unsure kekerasan) dan kekerasan budaya, agama, rasa dan etis.[4] Dimana penyebab terjadinya kekerasan yaitu adanya sifat bawaan dalam system Negara secara internasional, budaya kekerasan yang dominan, keyakinan bahwa kekerasan tidak bisa dihindari.[5]
Tindakan kelompok GAM yang agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989 an dan 1998 kemudian dikenal sebagai era  DOM, Daerah Operasi Militer. Langkah ini meskipun secara taktik berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan korban dikalangan penduduk sipil local di Aceh. Karena merasa terasing dari RI setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika militer Indonesia hamper seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto.
Kemudian pada tahun 1999, terjadi pemberontakan tahap kedua, hal ini disebabkan kekacauan di jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi GAM, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian mengakibatkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000.
Pada fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat yaitu “jeda kemanusiaan” tahun 2000 dan “cessation of hostities Agreement (COHA)” berlangsung antara desember 2002 ketika ditanda tangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia menyatakan “darurat militer” di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.
Memburuknya kondisi keamanan di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat dinyatakan di provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan. Militer indoneisa kembali melakukan pelanggaran hak asasi menusia dalam operasi ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi ditujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan diluar hokum yang umum.
Konflik yang berlarut-larut atas adanya perbedaan kepentingan antara Indonesia-GAM kemudian menarik perhatian dunia internasional untuk menanganinya. Desakan agar Indonesia bisa menyelesaikannya dengan segera kemudian menghadirkan pihak ketiga dari badan Organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang ingin segera menangani krisis di Indonesia.
Suatu konflik tentu membutuhkan suatu penyelesaian. Dimana penyelesaian konlik ada dua yaitu, jalur formal (jalur litigasi) dan jalur informal (jalur nonlitigasi).[6] Pada jalur informal, ada beberapa cara yang bisa digunakan diantaranya adalah mediasi dan arbitrase. Mediasi adalah metode untuk menghentikan konflik melalui orang ketiga.[7] Orang ketiga maksudnya adalah sebagai mediator. Dimana mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak.[8] Sementara yang dimaksud dengan arbitrase yaitu suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seseorang atau ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan mengikat.[9]
Upaya perdamaian Indonesia-GAM sudah beberapa kali dilaksanakan. Adapun pihak ketiga sebagai mediator yang pernah hadir dalam upaya penyelesaian konflik tersebut mengalami kegagalan. Contohnya Henry Dunant Center (HDC). Yayasan ini berdiri pada tahun 1999. Keterlibatan HDC di Indonesia dimulai pada bulan agustus ketika presiden Abdul Rahman Wahid meminta HDC untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan guna menyelesaikan konflik Aceh. Ketika berpidato di HDC pada tanggal 30 januari 2000, Abd Rahman Wahid menekankan pada peran ideology. Permintaan ini kemudian ditanggapi positif oleh HDC. Aksi pertama yang dilakkan HDC adalah dengan membawa RI-GAM secara bersama-sama ke meja perundingan pada bulan januari 2000 yang kemudian di susul dengan serangkaian dialog yang dihadiri kedua belah pihak .
Program manajer HDC, David Gorman mengatakan meskipun situasi di Aceh agak memanas dalam 2 minggu terakhir, namun itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan perjanjian yang telah ditanda tangani pada 9 desember, dimana perjanjian itu ditanda tangani setelah kedua belah pihak menyadari bahwa senjata tidak akan member penyelesaian terhadap konflik. Menurut David, hingga saat ini masyarakat Aceh tetap menginginkan proses perdamaian dilanjutkan. Karenanya ia mengharapkan tidak ada pihak-pihak yang meragukan efektifitas perdamaian, diantaranya yaitu dengan tidak memprotes keberdaan anggota tim tripartit, dimana anggota tim tripartit disebar di 8 kabupaten di Aceh, berjumlah 144 orang, pemerintah RI, GAM dan HDC masing-masing menempatkan 48 anggotanya dalam tim itu. Namun, upaya yang dilakukan oleh HDC ini mengalami kebuntuan pada april 2003 dan HDC dianggap gagal sebagai pihak ke tiga. Pada dasarnya konflik bukanlah sesuatu hal yang sederhana dan mudah untuk di selesaikan.[10]
Kegagalan mediasi tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh HDC sendiri sebagai pihak mediator, tetapi pihak yang berkonflik yang tidak memakai akal yang rasional dalam penyelesaiannya bahkan lebih menginginkan konflik yang ada terus berlanjut karena dirasa lebih efektif dalam mencapat tujuan. Perbedaan tujuan Indonesia-GAM memang sangat bertolakbelakang sehingga membuat penyelesaian susah terjadi. GAM menginginkan agar Aceh dapat memisahkan diri dari Indonesia dan berdaulat penuh sedangkan Indonesia tentu saja berjuang mempertahankan Aceh sebagai perjuangan untuk mempertahankan keutuhan NKRI.
Setelah kegagalan dari HDC, pihak mediasi lain yang mencoba untuk meredakan konflik antara Indonesia dan GAM adalah Crisis Management Initiatives (CMI). Proses mediasi dimulai pada akhir 2005 dimana perundingan antara RI-GAM mulai dilaksanakan di Helsinki, Finlandia. Dalam perundingan ini, RI mengirim tiga utusan, yakni Hamid Awaluddin (Menteri Keadilan dan HAM) sebagai ketua, kemudian dibantu juga oleh Farid Husein (Menteri Komunikasi dan Informasi) dan juga Sofyan Djalil (Deputi Menteri Kesejahteraan Masyarakat dan Putra asli Aceh). Sementara pihak GAM mengirimkan lima utusan, yakni Malik Mahmud (perdana menteri pemerintah Aceh), Dr. Zaini Abdullah (Menteri Luar Negeri GAM), Bahktiar Abdullah (Juru Bicara), Nuri Djuli dan Juga Nurdin Abdul Rahman (Pejabat Politik). Selain itu pihak GAM juga dibantu oleh pihak asing, yaitu Damien Kingsbury akademisi dari Australia yang memberikan saran-saran selama perundingan.
Pada Mei 2005 akhirnya pemerintah Indonesia mencabut status “state of emergency” di Aceh. Dan juli 2005, pemerintah RI dan utusan GAM sepakat untuk membuat MoU (Memorandum of Understanding). MoU di tandatangani di Finlandia oleh kedua belah pihak, Malik Mahmud sebagai perwakilan dari pihak GAM sementara pihak RI diwakili oleh Hamid Awaluddin dan disaksikan oleh Martti Ahtisari sebagai fasilitator selama proses negosiasi setelah melalui lima putaran perundingan.
·       Perundingan putaran pertama, dilaksanakan tanggal 28-31 januari 2005, CMI melakukan perundingan secara terpisah antara RI dan GAM. Dalam perundingan hari pertama terjadi dead lock karena kedua belah pihak tetap pada posisi dasar tuntutan mereka. Pihak RI menawarkan solusi dengan memberikan otonomi khusus tetapi tetap dalam kerangka NKRI, otonomi khusus ini bersifat informal dan tidak ada internasionalisasi. Hal tersebut mendapatkan respon penolakan dari pihak GAM. Mereka menolak tawaran otonomi khusus dan tetap mengajukan konsep self-determination (kemerdekaan). Pada perundingan ini, CMI memberikan solusi bahwa seharusnya perundingan dimulai dengan membahasa persoalan yang ringan dan tidak mencakup substansi dari tuntutan kedua belah pihak.Sehingga perundingan pertama ini belum menghasilkan kesepakatan apapun.
·       Perundingan Putaran Kedua, berlangsung dari tanggal 21-23 Februari 2005. Dalam perundingan ini suasana mulai memanas dan menyentuh substansi. Agenda utama dari perundingan ini adalah pembicaraan mengenai otonomi khusus. Pihak Indonesia menyatakan protes atas keterlibatan warga negara Australia sebagai penasihat GAM yaitu Damian Kingsbury. Selain itu Indonesia juga menyatakan protes atas serangan terhadap satuan Zeni TNI AD yang melaksanakan tugas kemanusiaan. Dalam perundingan ini Indonesia tetap bersikeras bahwa penyelesaian konflik RI-GAM harus diselesaikan melalui otonomi khusus.
Namun pihak GAM tetap bersikeras menolak usulan otonomi khusus dan menuntut pemberlakuan status quo untuk penyelesaian baru. Selain itu pihak GAM juga menuntut pemberlakuan cease fire (gencatan senjata) dan pihak GAM juga ingin menghadirkan Polisi Internasional serta menuntut Aceh sebagai “Demilitarisazed Zone”. GAM juga meminta agar RI membebaskan semua tahanan politik. GAM beranggapan bahwa masalah Aceh adalah masalah Internasional maka dari itu pihak GAM dibantu Damien Kingsbury telah menyiapkan tiga program sebagai agenda utama dalam konsep self-government.
Dalam perundingan putaran kedua ini pihak CMI khususnya Martti Ahtisaari merasa kecewa terhadap GAM dan menekankan agar pihak GAM bersedia berunding mengenai konsep otonomi khusus yang ditawarkan oleh RI. Intinya perundingan putaran kedua ini belum menghasilkan keputusan apapun selain kesediaan GAM untuk mempelajari usulan kerangka otonomi khusus dari pihak RI
·       Perundingan Putaran Ketiga, berlangsung pada 12-16 April 2005. Pada tahap ini kedua belah pihak sepakat untuk meninggalkan terlebih dahulu tentang konsep otonomi khusus dan self-government. Dalam perundingan ini, kedua belah pihak lebih membicarakan tentang agenda-agenda yang lebih memungkinkan bagi masa depan Aceh seperti, partai politik, keuangan dan perdagangan, perpajakan, security agreement, amnesty, demobilisasi dan pelanggaran HAM, dan outside monitoring. Pada putaran ketiga ini konsep self-determination yang sebelumnya diajukan oleh pihak GAM diubah menjadi self-government sebagai jalan bagi penyelesaian konflik.
·       Perundingan Putaran Keempat, berlangsung padaa tanggal 26-31 Mei 2005. Masalah utama yang dibahas adalah mengenai soal-soal partisipasi politik dan keamanan “by rebels” dalam kerangka self-government. Tahap keempat ini merupakan tahap kritis kedua. Masalah yang paling alot dibicarakan adalah mengenai penerjemahan self-government dan masalah partisipasi politik GAM. Pada perundingan tahap ini pihak CMI menawarkan untuk menyusun draft MoU yang akan menjadi pembicaraan pada putaran perundingan berikutnya. Agenda-agenda pembicaraan inilah yang akhirnya menjadi draft awal MoU Helsinki dari CMI.  Intinya, pada tahap ini belum ada kesepakatan pasti antara kedua belah pihak mengenai substansi self-government dan masalah partai politik.
·       Perundingan Putaran Kelima, berlangsung pada tanggal 12-17 Juli 2005. Agenda pembicaraan pada perundingan ini adalah penarikan mundur kekuatan bersenjata dari kedua belah pihak,pengaturan pemberian amnesti dan kompensasi ekonomi untuk GAM. Namun persoalan mengenai partai politik lokal merupakan agenda yang paling rumit dan belum memperoleh persetujuan dari pemerintah RI  dan karenanya pada perundingan tahap ini hampir terjadi dead lock. Namun melalui lobi-lobi intensif yang dilakukan oleh Martti Ahsari dan Juha Christensen dan juga pendekatan yang dilakukan oleh wakil presiden Jusuf Kalla sempat terjadi pertukaran draft dan diskusi mengenai pendirian partai lokal sampai akhirnya dicapai kesepakatan bahwa pemerintah RI akan memfasilitasi pendirian partai lokal dalam jangka waktu satu tahun atau paling lambat 18 bulan setelah kesepakatan ditanda tangani.
Dengan disetujuinya tuntutan GAM ini, maka seluruh butir-butir MoU telah disepakati oleh kedua belah pihak. Sehingga pada tanggal Agustus 2005 GAM dan RI bersepakat menanda tangani MoU Helsinki sebagai akhir dari penyelesaian konflik RI-GAM yang telah berlangsung selama 30 tahun.
C.    KESIMPULAN
Konflik bisa diartikan sebagai suatu pergerakan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dengan dasar kepentingan yang tidak sama.[11]Perbedaan kepentingan merupakan salah satu dari penyebab terjadinya konflik.[12] Dimana Konflik antara pemerintah RI  dan GAM yang diakibatkan perbedaan kepentingan telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa.
Konflik yang berlarut-larut atas adanya perbedaan kepentingan antara Indonesia dan GAM kemudian menarik perhatian dunia internasional untuk menanganinya. Desakan agar Indonesia bisa menyelesaikannya dengan segera kemudian mengadirkan pihak ketiga dari badan organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang ingin segera menangani krisis di Indonesia.
pihak mediator  yang  mencoba untuk meredakan konflik antara Indonesia-GAM adalah Crisis Management Initiative (CMI).  CMI adalah sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak dibidang resolusi  konflik. Sebagai NGO  yang bergerak di bidang resolusi konflik, CMI kemudian  memperjelas misinya tersebut dengan memfokuskan perhatian pada beberapa komitmen penting. Pada dasarnya CMI mempunyai komitmen untuk mencegah meluasnya konflik, membangun manajemen yang kokoh dalam penyelesaian konlik dan membangun perdamaian yang berkelanjutan. Tidak hanya itu, CMI juga berperan aktif dalam membangun dan mendorong terciptanya kehidupan yang  demokratis serta kampanye bagi pembangunan yang adil disetiap Negara sehingga dapat tercipta perdamaian dunia. Organisasi ini di dirikan pada tahun 2000 oleh Martti  Ahtisaari. MCI sebagai mediator mampu memposisikan dirinya dengan baik karena dia dari pihak netral yang berasal dari NGO, dan tidak punya kepentingan politik apapun sehingga dia mampu bersikap netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa.[13]





[1]Materi Mediasi dan Arbitrase oleh Asri T. (perkuliahan tanggal 28.09.2015)
[2]Bambang sutiyoso, Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2014), h. 29.
[3]Materi Konflik dan Kekerasan oleh Asri T (Perkuliahan tanggal 05.10.2015)
[4]Materi Kekerasan dan Perdamaian oleh Asri T (perkuliahan tanggal 12.10.2015)
[5]Tri Subagya, Resolusi Konflik dan Proses Perdamaian, 2015.
[6]Bambang sutiyoso, Aktualita Hukum Dalam Era Reformsi, h. 30.
[7]Materi Mediasi dan Arbitrase oleh Asri T (perkuliahan tanggal 28.09.2015)
[8]Rustan, Diskursus Integrasi Mediasi (cet. Ke-1; Makassar; Dua satu Press, 2014), h. 76.
[9]Chandra Irwan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: CV.Mandar Maju, 2010), h. 51.
[10]Bambang sutiyoso, Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi, h. 33.
[11]Materi Konflik dan Kekerasan oleh Asri T (Perkuliahan tanggal 05.10.2015)
[12]Yusuf Al-Aqshari, Manajemen Konflik (Indonesia, Rabbani Press), h. 192
[13]Rustan, Diskursus Integrasi, h. 76.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

cerpen kecewa

(  jika kamu ingin aku pergi maka aku akan pergi, tapi satu hal yang harus kamu tahu, di saat aku telah pergi maka pada saat itu pula aku tak akan pernah kembali. Tangisanku hari ini, kekecewaanku saat ini. I.N.G.A.T  kamulah sebabnya. Jangan salahkan aku jika pada akhirnya aku benar-benar berpaling dan tidak mengingatmu lagi. ) “ An_Nisa “Kecewa itu…..” By : An_Nisa Hari itu langkahku terhenti. Orang yang selama ini hilang dalam hidupku, muncul lagi di depanku. Aku ingin berteriak memanggil namanya, tapi entah kenapa hatiku begitu berat untuk mengucap namanya hingga ia berlalu begitu saja di depanku. Hmmmmm,,,,,betapa menyesalnya aku, padahal aku hanya ingin dia tahu bahwa aku sedikitpun nggak tersiksa dengan sikapnya padaku yang sekarang. Terima kasih sudah membuatku seperti ini. Aku nggak bisa berbuat apa-apa selain menyesali semuanya dan melambaikan tanganku padanya. semoga saja dia lebih bahagia dariku. ^_^ Lupakan,,,,,kata itu seolah menjadi bagian dari langkahku s

makalah tentang wasiat

Nama : Anisa Nim : 10300112006 jurusan :Hukum Pidana dan Ketatanegaraan ( UIN Alauddin Makassar )   BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal.Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada orang yang diberi wasiat.Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta. [1] Adapula wasiat yang berkaitan dengan hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia meninggal dunia, misalnya seorang berwasiat kepada orang lain supaya mendidik anaknya kelak, membayar utangnya , atau mengembalikan barang pinjamannya sesudah si pemberi wasiat itu meninggal dunia. Hak kekuasaan yang diserahkan hendaklah berupa harta, hak kekuasaan yang bukan berupa harta tidak sah diwasiatkan. Misalnya menikahkan anak perempuannya karena kekuasaan walisetelah ia meninggal dunia berpindah kepada wali yang

Last good bye 안녕 😭😭

Last good bye By: An_Nisa Aku harus bertahan berapa lama lagi? Aku harus menunggu berapa lama lagi? Aku harus menderita berapa lama lagi? Aku lelah...biarkan aku menyerah Jika aku melambaikan tangan Ku mohon... Jangan menangis Jika aku melangkah pergi Ku mohon..  Jangan menunggu Jika aku menutup mata Ku mohon... Ikhlaskan aku Aku tahu... Ada cinta dihatimu Ada kasih dihatimu Ada peduli dihatimu Aku mengerti itu Dalam gelap setitik cahaya menghampiri Bukan hanya sekedar menyapa Tapi "DIA" memanggilku Ku mohon,  mudahkan jalanku dengan maafmu Orang tua,  saudara,  nenek,  Teman dan sahabatku Aku menyayangi kalian