Nama : Anisa
Nim : 10300112006
jurusan :Hukum Pidana dan Ketatanegaraan ( UIN Alauddin Makassar )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Wasiat
adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan
berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal.Wasiat
dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada
orang yang diberi wasiat.Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta.[1]Adapula
wasiat yang berkaitan dengan hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia
meninggal dunia, misalnya seorang berwasiat kepada orang lain supaya mendidik
anaknya kelak, membayar utangnya , atau mengembalikan barang pinjamannya
sesudah si pemberi wasiat itu meninggal dunia. Hak kekuasaan yang diserahkan
hendaklah berupa harta, hak kekuasaan yang bukan berupa harta tidak sah
diwasiatkan. Misalnya menikahkan anak perempuannya karena kekuasaan walisetelah
ia meninggal dunia berpindah kepada wali yang lain menurut susunan wali yang
sudah di tentukan. [2]
Demi
terjaminnya wasiat dikemudian hari, orang yang berwasiat hendaknya menjadikan
sebagai saksi sekurang-kurangnya dua orang yang adil.
Wasiat
sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka atas kehendak sendiri.
Tidak sah wasiat dilakukan anak kecil , orang gila dan budak sekalipun
statusnya makatab tanpa seizing dari tuannya, dan tidak sah pula dilakukan oleh
orang yang dipaksa .
Wasiat
termasuk perjanjian yang diperbolehkan, yang di dalamnya pemberi wasiat boleh
mengubah wasiatnya, atau menarik kembali apa yang dia kehendaki dari wasiatnya,
atau menarik kembali apa yang akan diwasiatkan. Penarikan kembali atau yang
dikenal dengan istilah ruju’ dapat berupa ucapan atau perbuatan misalnya dengan
menjual objeknya.[3]
Apabila
dilihat dari pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan hukum
sepihak ( merupakan pernyataan sepihak ), jadi dapat saja wasiat dilakukan
tanpa dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam
bentuk tertulis.[4]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan wasiat dan bagaiamana hukumnya menurut para ulama ?
2.
Berapakah
jumlah maksimal harta yang boleh diwasiatkan ?
C. Tujuan
penulisan
Tujuan
dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan wasiat dan
bagaimana hukumnya menurut para ulama dan juga untuk mengetahui berapakah jumlah
maksimal harta yang boleh diwasiatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian wasiat
Wasiat menurut
bahasa artinya menyambungkan, berasal dari kata washasy syai-a bikadzaa, artinya “ dia menyambungkan’’. Dikatakan
demikian karena seorang yang berwasiat berarti menyambungkan kebaikan dunianya
dengan kebaikan akhirat. Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan
dijalankan sesudah orang meningga dunia. [5]
Menurut
syara’, wasiat adalah mendermakan suatu hak yang pelaksanaannya dikaitkan
sesudah orang yang bersangkutan meninggal dunia.
Wasiat
adalah pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap harta miliknya
yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah terjadinya kematian si
pemberi wasiat.
Pendapat
lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya,
dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat
terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta peninggalan.[6]
Hukum
wasiat berdasarkan kesepakatan ( ijma’) adalah sunnat muakkad. Menurut Zainuddin Abdul Aziz, jika sedekah
dilakukan waktu orang yang bersangkutan dalam keadaan sehat, lalu dia sakit,
hal itu jauh lebih utama..sesudah Allah menerangkan beberapa ketentuan dalam
pembagia harta warisan, diterangkan pula bahwa
pembagian harta warisan tersebut hendaklah dijalankan setelah
melaksanakan wasiat.
Dasar
hukum wasiat dalam hukum kewarisan islam, yakni al-qur’an surah al-baqarah ayat
180 dan surah Al-Maidah ayat 106.[7]
Al-Maidah ayat 106 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
شَهَٰدَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ حِينَ ٱلْوَصِيَّةِ
ٱثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنتُمْ
ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَأَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةُ ٱلْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا
مِنۢ بَعْدِ ٱلصَّلَوٰةِ فَيُقْسِمَانِ بِٱللَّهِ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِى
بِهِۦ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ وَلَا نَكْتُمُ شَهَٰدَةَ ٱللَّهِ إِنَّآ
إِذًا لَّمِنَ ٱلْءَاثِمِينَ
Terjemahnya :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian,
sedang ia akan berwasiat maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang
yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika
kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu
tahan kedua saksi itu setelah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka
keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: “(demi Allah) kami
tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang),
walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian
Allah. Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
berdosa.”
Wasiat
sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka atas kehendak
sendiri.Tidak sah wasiat yang dilakukan anak kecil, orang gila dan budak,
sekalipun statusnya makatab tanpa seizing dari tuannya dan tidak sah pula bila
dilakukan oleh orang yang di paksa. Dalam masalah wasiat ini orang yang sdang
mabuk disamakan kedudukannya dengan orang mukallaf ( yakni sah wasiatnya ).
Wasiat
dapat ditujukan kepada siapa saja sesuai denga kehendak orang yang berwasiat,
bahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan pun hukumnya boleh.Hanya jika
bayi yang dilahirkan meninggal dunia, maka wasiatnya tidak dapt dilakukan.
Agar
wasiat yang disampaikan oleh pemberi wasiat mudah diamalkan.Orang yang diberi
wasiat harus jelas namanya, ciri-cirinya bahkan temoat tinggalnya. Karena jika
orang yang dimaksudkan tidak jelas
identitasnya, pelaksanaan wasiat akan menemukan kesulitan unutk melaksanakan
wasiat yang bersangkutan. [8]
Jika
wasiat dilakukan untuk ahli waris dan melebihi sepertiga harta waris,
pelaksanannya harus mendapat persetujjuan dari ahli waris lainnya. Artinya,
wasiat tersebut dapat digugurkan jika ahli waris yang lain tidak menyetujuinya.
Jika wasiat menyangkut harta yang jumlahnya
melebihi sepertiga, karena ahli waris tidak menyetujuinya maka wasiat
yang dilaksanakan cukup yang sepertiganya saja. Jika yang menyetujui wasiat
lebih dari sepertiga itu hanya salah seorang dari ahli waris, wasiat dihukumo
sah untuk jumlah kelebihan yang sesuai dengan bagiannya.Jika seorang ahli waris
yang mempunyai hak tasharruf mutlak menyetujui wasiat lebih dari spertiga,
persetujuannya itu merupakan izin untuk melaksanakan wasiat lebih dari
sepertiga.
Mazhab
empat sepakat tentang pelarangan wasiat wasiat untuk ahli waris, kecuali jika
disetujui oleh para ahli waris lainnya. Mazhab imamiyahmengatakan , “wasiat boleh diberikan untuk ahli waris
maupun bukan ahli waris, dan tidak bergantung pada persetujuan para ahli waris
lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan’’.
Para
ulama mazhab berselisih pendapat tentang sahnya wasiat seorang muslim untuk
seorang kafir harbi. Maliki, Hanbali
dan mayoritas syafi’I mangatakan bahwa wasiat seperti itu sah (kafir dzimmi adalah seorang yang
membayar jizyah kepada kaum muslimin,
sedangkan kafir harbi’ adalah orang kafir yang harus diperangi).Menurut mazhab
imamiyah, kafir harbi adalah orang kafir yang tidak membayai, meskipun tidak
memerangi kaum muslimin.
B. Batasan
Wasiat
Wasiat
harta tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki.Mewasiatkan harta
melebihi sepertiganya hukumnya makruh.Bahkan hukumnya haram jika wasiat yang
lebih dari sepertiga tu dimaksudkan untuk menghalangi bagian ahli warisnya.[9]
Para
ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan
wasiat lebih dari 1/3 hartanya. Hal itu sesuai dengan Hadits Rasulullah saw,
yang artinya :
Bahwa
suatu ketika Rasulullah saw dating mengunjungi saya (sa’ad bin Abi Waqas) pada
tahun haji wada’. Kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw; wahai
Rasulullah! Sakitku telah demikian parah, sebagaimana engkau lihat, sedang saya
ini orang yang berada, tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain
seorang anak perempuan. Bolehkah aku bersedekah (berwasiat) dengan dua pertiga
hartaku (untuk beramal) ?maka berkatalah Rasulullah saw. Kepadaku : “jangan’’
kemudian Rasulullah berkata pula, “sepertiga” dan sepertiga itu banyak dean
besar. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu sebagai
orang-orang kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka sebagai
orang-orang miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.(HR.Bukhari dan Muslim)[10]
Wasiat
hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, manakala terdapat ahli
waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam keadaan sakit ataupun
sehat.Adapun jika melebihi sepertiga harta warisan, menurut kesepakatan seluruh
mazhab, dibutuhkan izin dari para ahli waris.Jika semua mengizinkan, wasiat itu
berlaku.Akan tetapi jika mereka menolak, wasiat itu batal. Jika sebagian dari
mereka mengizinkan, sedang sebagian lainnya tidak, kelebihan dari sepertiga itu
dikeluarkan dari harta yang mnegizinkan, dan izin dari seorang ahli waris baru
berlaku jika ia berakal sehat, baligh dan rasyid.
Mazhab
imamiyah mengatakan bahwa jika para ahli waris telah memberi izin, mereka tidak berhak menarik
kembali izin mereka, baik izin itu diberikan saat pemberi wasiat masih hidup
atau sesudah meninggal.
Mazhab
hanafi, syafi’I dan hanbali mengatakan bahwa penolakan ataupun izin hanya
berlaku sesudah meninggalnya pemberi wasiat.Jika mereka memberi izin ketika dia
masih hidup, kemudian berbalik pikiran dan menolak melakukannya setelah pemberi
wasiat meninggal, mereka berhak melakukan itu baik izin itu mereka berikan
ketika pemberi wasiat berada dalam keadaan sehat ataupun ketika sakit.
Mazhab
maliki mengatakan bahwa jika mereka mengizin kanketika pemberi wasiat berada dalam
keadaan sakit, mereka boleh menolak melakukannya. Akan tetapi, jika mereka
memberi izin ketika ia sehat, kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari hak
waris mereka, dan mereka tidak boleh menolak.
Mazhab
imamiyah, hanafi dan maliki mengatakan bahwa izin yang diberikan oleh ahli
waris bagi kelebihan dari sepertiga harta waris merupakan persetujuan atas
tindakan si pemberi wasiat, bukan sebagai hibah dari ahli waris kepada
sipemberi wasiat. Jadi, ia tidak memerlukan serah terima. Hukum-hukum hibah tidak
berlaku untuk wasiat.
Terdapat
perbedaan pendapat mengenai orang yang mewasiatkan seluruh hartanya, sedangkan
dia tidak mempunyai ahli waris. Imam malik mengatakan bahwa wasiat hanya boleh
maksimal sepertiga hartanya, sedangkan abu hanifah mengatkan bahwa boleh
seluruhnya. Imam syafi’I dan imam Ahmad mempunyai dua pendapat, sedangkan
mazhab imamiyah juga mempunyai dua pendapat, tetapi yang lebih sahih adalah
boleh.[11]
Beberapa
pendapat tentang jumlah harta yang diwasiatkan, yaitu :
1.
Sunni
Para ulama faradiyun dikalangan sunni
juga memberikan beberapa batasan tentang jumlah harta yang diwasiatkan yakni
tidak melebihi dari 1/3 dari harta kecuali atas izin para ahli waris
sebagaimana yang disepakati kelompok syafi’iyah dan hanafiyah, dalam keadaan
tersebut , jika wasiat besarnya separuh harta, sedang para ahli waris tidak
menyetujuinya, maka wasiat yang dilaksanakan hanya sebatas 1/3 harta, sisanya
dikembalikan kepada saldo harta setelah dikurangi berbagai kewajiban seperti
pelunasan utang, penyelenggaraan jenazah atau kewajiban lainnya. Batas paroan
1/3 harta menurut syafi’I dan abu hanifah adalah 1/3 dari seluruh harta mayit,
tidak dari harta yang akan diwarisi setelah pelunasan berbagai kewajiban
seperti biaya penyelenggaraan jenazah dan lain-lain, sebagaimana pendapat malik
menghitungnya dari harta waris.
Perizinan ahli waris tentang 1/3 harta atau lebih sesuai dengan izin mereka
juga berlaku apabila wasiat ditujukan kepada ahli waris itu sendiri, wasiat
menjadi batal jika tidak disetujui ahli waris lain.
System perhitungan wasiat hanya dapat
dimulai setelah pengurangan harta mayit (tirkah:harta peninggalan) dari
penunaian tahjiz, penyelenggaraan jenazah, pelunasan utang dan penunaian
wasiat.
Wasiat dianggap sah apabila memenuhi ketentuan bagian (f) walaupun masih
berkemungkinan dianggap fasid seperti untuk motif kejahatan, wasiatnya sah
tetapi fasid, atau wasiatnya sah tetapi batil sebagiannya seperti melebihi 1/3
harta.
Pembunuhan yang sengaja atau yang
dipersangkakan cenderung telah melakukan kesalahan besar sehingga terjadi
pembunuhan yang dilakukan olah si penerima wasiat ( al mushilahu ) terhdapa si pewasiat ( al mushi ) berakibat batalnya wasiat, walaupun ahli waris ingin
melaksanakan wasiat, kecuali pembunuhan tersebut terjadi karena keadaan yang
luar biasa seperti tidak ada maksud pembunuhan, tidak ada perencanaan
pembunuhan dan atau bersengaja dengan kesadaran dengan syarat disetujui oleh
para ahli waris.
2.
Syiah
Pada umumnya menyepakati pendapat
kelompok sunni tetapi dengan sedikit perbedaan. Syiah menetapkan bolehnya
wasiat kepada ahli waris selama tidak melebihi bagian 1/3 harta walaupun tanpa
persetujuan para ahli waris.
Berbeda dengan sunni, menurut syiah,
wasiat bagi si penerima wasiat tetap berlaku walaupun telah membunuh si pewasiat, baik dengan sengaja atau tidak.
3.
Hazairin
Menetapkan keharusan wasiat dalam
situasi khusus terhadap ahli waris seperti ahli waris yang lebih memerlukan
harta ( karena sakit parah, biaya pendidikan dan lain sebagainya ) dimana
selaian dia akan menerima harta waris, ia juga dapat menerima wasiat sebesar
tidak lebih dari 1/3 harta sebagai tambahan bagi dirinya karena keperluannya lebih
banyak.[12]
4.
KHI
Kompilasi hukum islam Indonesia
khususnya dalam ketentuan yang terdapat dalam Buku II Bab V pasal 194 dan 195
menyebutkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan
pewasiatan tersebut yaitu, a) pewasiat harus orang yang telah berumur 21 tahun,
berakal sehat dan didasarkan kepada kesukarelaannya. b) harta benda yang
diwasiatkan harus merupakan hak si pewasiat, c) peralihan hak terhadap
barang/benda yang diwasiatkan adalah setelah si pewasiat meninggal dunia.[13]
KHI umumnya mengambil pendapat sunni,
hanya saja dengan sedikit perbedaan dan perluasan penambahan.
Batalnya wasiat, sesuai dengan putusan
Hakim bahwa si penerima wasiat : a) dipersalahkna membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat, b) dipersalahakan seccara
memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan
yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau atau hukuman yang lebih
berat, c) dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk
membuat atau mencabut mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat,
d) dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat
dari pewasiat (pasal 197).
Apabila surat wasiat dalam keadaan
tertutup maka penyimpanannya ditempat notaris yang membuatnya atau ditempat
lain (pasal 203) kemudian tentang wasiat yang harus dibuka dihadapan notaris
(pasal 204), dalam keadaan perang seseorang dapat berwasiat dihadapan komandan
dan dua saksi (pasal 205) sebagaimana mereka yang melewati perjalanan laut
dihadapan nahkoda atau mualim kapal atau penggantinya dihadapan dua saksi
(pasal 206) dan wasiat tidak diperbolahkan kepada orang yang melakukan
pelayanan perawatan atau kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya kecuali ditentukan dengan tegas
dan jelas untuk membalas jasanya (pasal 207) wasiat tidak berlaku bagi notaris
dan saksi-saksi pembuat akta tersebut (pasal 208)
Harta peninggalan anak angkat dibagi
berdasarkan pasal 176-193 sedang orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan anak angkatnya, dan
terhadap anak angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya (pasal 209).[14]
5.
KUH
Perdata (BW)
Jika pengertian wasiat dalam KUH
Perdata tersebut dibandingkan dengan pengertian wasiat dalam hukum kewarisan
islam, ada perbedaan yang sangat mencolok. Dalam hukum kewarisan islam, tidak
dikenal konsep penunjukan atau pengangkatan ahli waris ( erfstelling ). Yang ada hanya pemberian dari seseorang kepada orang
lain yang berlaku apabila yang memberikan meninggal dunia. “pemberian’’ dalam
keadaan khusus seperti ini dikenal dengan nama wasiat. Pranata seperti ini
adalam hukum kewarisan KUHPerdata dinamakan dengan hibah wasiat atau lazim
disebut legaat.[15]
Mengenai wasiat di atur dalam pasal
874-1022. (pasal 874) segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia
adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekedar terhadap
itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah.
(pasal 875) adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen adalah suatu akta
yang memuat pernyataan seorang tentang appa yang dikehendakinya akan terjadi
setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi. (pasal
876) segala ketetapan dengan surat wasiat mengenai harta peninggalan adalah
untuk diambil secara umum atau dengan alas hak umum, atau pula dengan alas hak
khusus. Tiap-tiap ketetapan yang demikian baik diambil kiranya dengan nama
hibah wasiat atau dengan nama-nama lain bagaimamnapun juga , harus tunduk pada
peraturan termuat dalam bab ini. (pasal 877) suatu ketetapan wasiat untuk para
keluarga sedarah yang terdekat, atau untuk darah terdekat dari si meninggal,
tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap telah diambil untuk keuntungan
para ahli waris menurut undang-undang. (pasal 878) suatu ketetapan wasiat untuk
para miskin tanpa penegasan lebih lanjut, harus dianggap telah diambil demi
kebahagiaan sekalian penderita sengsara, dengan tak memandang agama, yang
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga miskin pada tempat dimana warisan yang
bersangkutan jatuh meluang. (pasal 879) pengangkatan waris atau pemberian hibah
wasiat dengan lompat tangan, atau sebagai fidei-commis adalah terlarang. Oleh
karena itu, pun bagi si yang diangkat atau yang menerima mana masing-masing mereka
diwajibkan menyimpan barang-barang warisan atau hibahnya untuk kemudian
menyerahkannya baik seluruhnya maupun untuk sebagian kepada orang ketiga.[16]
Batasan jumlah harta wasiat maksimal ½
harta jika pewasiat mempunyai seorang anak yang sah, 1/3 apabila memiliki dua
orang anak yang sah, dan ¼ jika memiliki tiga orang anak yang sah termasuk
dalam pengertian ini adalah anak turun mereka sebagai pengganti anak dalam
garis turun masing-masing (pasal 914) dan maksimal ½ jika pewasiat hanya
meninggalkan ahli waris garis lurus ke atas, demikian juga terhadap anak luar
kawin yang diakui telah sah (pasal 915-916), kecuali tidak ada keluarga garis
ke atas, pewasiatan tidak dibatasi (pasal 917).
Apabila suatu pewasiatan melebihi dari
bagian yang telah ditentukan pada bagian di atas maka jumlah bagian tersebut
harus dipotong sesuai dengan apa yang seharusnya telah diatur sehingga
jumlahnya tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan (pasal 916a).[17]
6.
KUHWasiat
Mesir
KUHWasiat Mesir tentang wasiat wajibah
no.71 tahun 1365 H dan tahun 1946 M dapat disimpulkan :
Wasiat wajibah berlaku dengan
sendirinya walaupun tidak diwasiatkan sebelumnya oleh pewasiat.Wasiat wajibah
dimaksudkan adalah kepada orang yang bukan ahli waris tetapi kepada mereka yang
karena tidak tergolong ahli waris seperti cucu laki-laki atau perempuan pancar
perempuan (anak-anak dari anak perempuan yang meninggal) atau kepada cucu
laki-laki atau perempuan pancar laki-laki (anak-anak dari anak laki-laki
pewaris yang meninggal), mereka terhijab karena adanya anak laki-laki pewaris
langsung (sdr.lelaki ayah mereka/cucu). Maka untuk mereka berhak menerima
wasiat wajibah tanpa harus adanya persetujuan ahli waris ataupun pewaris
sendiri sebelumnya ketika ia hidup.
Batas maksimal wasiat wajibah adalah
1/3 dari harta peninggalan, apabila pewaris sebelumnya telah mewasiatkan kepada
mereka harta yang kurang 1/3 bagian, maka secara yuris harus dicukupkan 1/3
harta dan apabila wasiat tersebut melebihi dari batas maksimal 1/3 harta,
selebihnya merupakan wasiat akhtiarah, dimana adanya keharusan persetujuan ahli
waris, apakah ahli waris menyetujuinya berarti mereka akan mendapatkan
kelebihan dari 1/3 harta dan sebaliknya jika kelebihan tersebut tidak disetujui
ahli waris maka kelebihan tersebut diambil untuk dijadikan tambahan dari harta
pewarisan bagi ahli waris.[18]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Wasiat
adalah pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap harta miliknya
yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah terjadinya kematian si
pemberi wasiat. Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari
seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus
dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain
diluar harta peninggalan.
Hukum wasiat berdasarkan kesepakatan (
ijma’) adalah sunnat muakkad. Sementara Dasar
hukum wasiat dalam hukum kewarisan islam, yakni al-qur’an surah al-baqarah ayat
180 dan surah Al-Maidah ayat 106.
2.
Para
ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan
wasiat lebih dari 1/3 hartanya. Hal itu sesuai dengan Hadits Rasulullah saw,
yang artinya :Bahwa suatu ketika Rasulullah
saw dating mengunjungi saya (sa’ad bin Abi Waqas) pada tahun haji wada’.
Kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw; wahai Rasulullah! Sakitku telah
demikian parah, sebagaimana engkau lihat, sedang saya ini orang yang berada,
tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan.
Bolehkah aku bersedekah (berwasiat) dengan dua pertiga hartaku (untuk beramal)
?maka berkatalah Rasulullah saw. Kepadaku : “jangan’’ kemudian Rasulullah
berkata pula, “sepertiga” dan sepertiga itu banyak dean besar. Sesungguhnya
apabila engkau meninggalkan ahli warismu sebagai orang-orang kaya adalah lebih
baik daripada meninggalkan mereka sebagai orang-orang miskin yang meminta-minta
kepada orang banyak. (HR.Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits diatas dapat
dipahami bahwa, untuk melindungi ahli waris supaya mereka tidak dalam keadaan
miskin setelah ditinggalkan pewaris, harta yang boleh diwasiatkan (jumlah
maksimal) tidak boleh melebihi dari sepertiga dari seluruh harta yang
ditinggalkan. Hal ini dalam hukum kewarisan
islam adalah untuk melindungi ahli waris. Adapun dalam KUHPerdata yang
ditekankan adalah jumlah minimal yag harus diterima oleh ahli waris, atau lazim
di sebut dengan bagian mutlak (legitieme portie)
B. Saran
Penyusun makalah ini hanya mengandalkan
sedikit buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca
yang ingin mendalami masalah wasiat agar setelah membaca makalah ini, membaca
sumber-sumber lain yang lebih komplit.
DAFTAR PUSTAKA
Burgerlijk Wetboek ( Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata )
Lubis, Suhrawardi K dan Simanjuntak,
Komis.Hukum waris islam. Jakarta:
Sinar Grafika, 2001
Lubis, Suhrawardi K dan Simanjuntak,
Komis.Hukum Waris Islam. Edisi ke-2;
Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Muhibbin, Moh dan Wahid, Abdul.Hukum Kewarisan Islam.Jakarta: Sinar
Grafika, 2009
Sarmadi, Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1997
Saebani, Beni Ahmad.Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia,
2009
Shomad, Abd. Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2010
[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris ( Bandung: Pustaka Setia,
2009 ), h.343
[2] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 344
[3] Abd Shomad, Hukum Islam ( Jakarta: Kencana, 2010 ), h.357
[4]Suhrawardi K Lubis dan Komis
Simanjuntak, Hukum Waris Islam( Edisi
ke-2 ; Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 47
[5] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 343
[6] Moh Muhibbin dan Abdul Wahis, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Sinar
Grafika, 2009 ), h. 145
[7] Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 145
[8] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 345-346
[9] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 345
[10] Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 147-148
[11] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 363-366
[12] A Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif ( Jakarta: PT RajagRrafindo persada, 1997 ), h. 254-257
[13] Suhrawardi K Lubis dan Komis
Simanjuntak, Hukum Waris Islam (
Jakarta: Sinar Grafika, 2001 ), h.44
[14] A Sukri Sarmadi, Transendendi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif, h. 257-259
[15]Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Sinar
Grafika, 2009 ), h. 147
[16] Burgerlijk Wetboek ( Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata )
[17]A Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif, h. 259
[18] A Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif, h. 260
Komentar
Posting Komentar