Surat Untuk Ayah
<.1.>
Menangis…
Entah
kenapa melihat surat kecil itu
Hati
menjadi pilu
Memberontak
dan siap berteriak
Perlahan
Air
mata semakin deras bercucuran dari mataku yang sipit
Namun,
sebelum air mata membasahi pipi terlalu lama
Segera
ku usap dan kuganti dengan senyuman
Tuhan…
Inikah
jawaban dari do’a-do’aku selama ini ?
Inikah
jawaban dari pertanyaanku selama ini ?
Tuhan….
Andai
mereka tahu
Aku
bersyukur dekat denganMU
Tabah
dalam setiap cobaan dan ujianMU
Dan
menjadikanmu pelabuhan terakhirku mengadu
Aku
bersyukur bertuhankan engkau ya Allah
Satu persatu bayangan masa lalu yang kelam mulai menghampiri
Saat
dimana yang menjadi sahabat hanyalah tangisan dalam do’a
Hidup
dalam deraian air mata
Tenggelam
dalam lautan kesedihan
Saat
itu usiaku masih tujuh tahun
Usia
dimana saatnya merasakan manisnya menimba ilmu
Bermain
dan melihat indahnya dunia
Tapi
tidak,
itu
tidak terjadi padaku
anak
yang malang. Begitulah aku menyebut diriku
Anak
bungsu dari dua bersaudara
Hidup
di tengah keluarga yang serba kekurangan
Cacian,
hinaan, makian atau entahlah apa namanya
Itulah
makanan kami setiap harinya
<.2.>
Pagi
itu awan mendung
Hawa
terasa sejuk
Cepat
atau lambat hujan akan turun
Di gubuk
kecil yang sederhana
Ku
lihat ayah termenung memandangi langit
Matanya
berkaca-kaca
Siap
meneteskan air mata
Pahitnya
hidup semakin terasa
Saat
yang lain berucap syukur atas turunnya hujan yang begitu di nanti
Aku
justru menjerit dan semakin terhimpit
Apa
yang bisa kulakukan jika hujan ?
Berdiam
diri tak akan mengubah apapun
Yang
ada hanyalah tangisan dan air mata
Belum
beranjak ayah dari tempatnya
Hujan
akhirnya membasahi bumi
Tetes
demi tetes semakin deras mengalir
Dan
perlahan semuanya berubah
Ayah
jangan menangis.
Cukup
hujan yang membasahi bumi
Usap
air matamu
Aku
akan merubah semuanya
Hatiku
Begitu sakit melihat air mata ayah berderai
Bukan
air hujan yang membanjiri gubuk sederhanaku
Bukan
pula baju-baju kusutku yang hanyut terseret gelombang
Ayah.
Aku akan merubah semuanya !
<.3.>
Tak
ingin melihat ayah selalu sedih
Tak
ingin melihat kakak terlalu keras bekerja
Ku
beranikan diri untuk bermimpi
Bermimpi
menaklukkan dunia dengan prestasi dan senyumanku yang tulus
Kuhampiri
ayah yang sedang khusyuk berdzikir
Tasbih
peninggalan ibu di pegangnya
Perlahan
aku mulai bicara
Ayah,
aku ingin bersekolah
Aku
ingin melihat ayah tersenyum
Aku
ingin melihat ayah bahagia
Aku
ingin membuat ayah bangga kepadaku
Aku
ingin terbebas dari belenggu kesedihan dan kemiskinan
Dan
ah! Begitu banyak inginku
Dzikir
tak hentinya di ucap ayahku
Tasbis
itu semakin keras di genggamnya
Ia
menangis dan akhirnya berbalik badan memelukku
Kurasakan
hangat dekapan itu
Penuh
kasih sayang
Anakku….
Jangan
bermimpi terlalu tinggi
Biaya
darimana, ayah tidak punya uang
Biaya
sekolah mahal
Belum
lagi di tambah dengan seragam dan buku-buku
Bahkan
untuk makan saja kita sudah susah
Ma’af
nak, ayah tidak bisa menyekolahkanmu seperti anak-anak yang lain
<4.>
Kupahami
posisi ayah
Ku
mengerti bagaimana keadaan keluargaku
Tidak
punya apa-apa
Apalagi
biaya untuk bersekolah
Saat
malam mulai menyapa
Ayah
mulai sibuk mempersiapkan perlengkapan untuk melaut
Inilah
ayahku sang nelayan
Perlahan
Kaki
ayah melangkah menuju bibir pantai
Cemas,
khawatir, ketakutan
Perasaan-perasaan
tidak tenang mulai menyergapku
Di
temani saudaraku
Ayah
melambaikan tangan
Ku
raih tangan itu
Ku
cium dan ku genggam sekuat-kuatnya
Hati-hati
! ucapku
Aku
menyayangi ayah
<.5.>
Tiga
hari berlalu
Ayah
dan saudaraku belum kembali dari melaut
Kemana.
Kemana mereka
Aku
kesepian dan ketakutan
Nak…
ayahmu tak akan pernah kembali
Ikhlaskan
dia
do’akan
yang terbaik untuknya
Banggakan
dia
Laki-laki
tua menghampiriku
Seorang
yang juga sebagai nelayan
Tidak
!
Ayah
dan saudaraku pasti akan kembali
Mereka
tak akan meninggalkanku sendiri dan kesepian
Ayah
sudah berjanji akan pulang
Membawa
hasil tangkapan yang banyak
Dan
aku bisa bersekolah
Orang
mengira aku sudah gila
Setiap
hari menghabiskan waktu di pinggir pantai
Mencaci
dan memaki setiap kali ombak melambai
Aku hanya
menunggu ayah dan saudaraku pulang
Ombak….
Kemana
kau bawa ayah dan saudaraku
Kembalikan
mereka padaku
Aku
butuh mereka
<.6.>
Tidak
ada yang berubah
Berbulan-bulan
menunggu
Ayah
dan saudaraku tetap tidak kembali
Mungkin
benar
Mereka
telah tenggelam dan di hanyutkan ombak yang ganas
Mereka
benar-benar tak akan pernah kembali
Tuhan….
Kenapa
Engkau renggut mereka dariku
Apa
salahku ?
Apa
yang sudah ku lakukan
hingga
Engkau seakan begitu membenciku
tuhan…
katakan
apa salahku… apa ? apa ?
tidak
cukupkah tangisanku selama ini ?
berusaha
tegar dan sabar
menghadapi
cobaan hidup
yang
datang bertubi-tubi
sudah
tak terhitung lagi
sudah
berapa banyak air mataku yang tumpah
aku
tidak tahu kemana harus mengeluh
ibu…
ibu
yang selama ini menjadi sandaran hatiku di saat pilu
kini
telah bahagia di surga sana
beliau
meninggal di saat usiaku masih 3 tahun
gubuk
kecil peninggalan ayah
tasbih
peninggalan ibu
kini
tinggallah kenangan
entah
sampai kapan gubuk kecil itu bisa bertahan
menahan
hembusan angin yang seakan murka
menahan
hempasan air laut yang menyeramkan
ku
harap itu tetap beridiri kokoh sampai nanti
sampai
aku berhasil dan membuat mereka yang begitu ku sayang
ayah…
ibu…
kakak…
tersenyum
bangga di surga sana
<.7.>
Aku
sendiri
Tak
ada ayah
Tak ada
ibu
Tak
ada saudara
Aku
yatim piatu
Kuputuskan
Berangkat ke kota
Meninggalkan
gubuk kecil dan selembar surat
Surat
sederhana yang di tuliskan oleh tetanggaku
Mungkin
saja ayah dan saudaraku akan kembali
Ayah…
Kemana
ayah selama ini
Aku
kesepian
Ma’af
ayah…
Aku
harus ke kota mencari kehidupan baru
Aku
tak sanggup sendiri
Jika
ayah sudah kembali
Jemput
aku ayah
Aku
menunggumu
Sampai
di kota, tepat pukul 7 pagi
Kulihat
segerombolan anak-anak
Lengkap
dengan seragam putih merah
Tampak
keceriaan dari wajah-wajah mereka
Diam-diam
Aku
mengikuti mereka hingga ke sekolah
Tak
sekalipun mataku berani berkedip
Takut
kehilangan jejak dan akhirnya kesasar
Aku
terkesima
Begitu
banyak anak yang ada di depanku
Bermain,
bercanda dan berlarian kesana kemari
Tuhan…
Kapan
aku bisa merasakan kebahagiaan itu ?
tanyaku dalam gundah
Memakai
seragam sekolah
Memiliki
banyak teman bermain
Yah,
di balik pagar aku hanya mampu berderai air mata
memperhatikan
mereka bermain dengan riangnya
Dan
ketika bel mulai berbunyi
Dengan
segera aku menyelinap masuk
Bergabung
dengan mereka yang saling berlarian memasuki kelas
Di
balik jendela aku mengintip dan mendengarkan
Cukup
selembar daun pisang
Dan
pulpen sederhana yang ku pungut di tempat sampah
Berharap
sang guru tak mengetahui keberadaanku
Aku
tidak tahu membaca
Aku
tidak tahu menulis
Sejak
kecil aku hanya menghabiskan waktu membantu ayah
Tak
ada waktu untuk belajar
Jangankan
membeli buku
Untuk
sesuap nasi saja harus bekerja mati-matian
<.8.>
Lima
bulan sudah berlalu
Kebiasaan
mengintip di jendela semakin kunikmati
Cukup
itu…
Sudah
banyak ilmu yang ku dapat dari tempatku mengintip
Belajar
menulis…
Belajar
membaca…
Belajar
berhitung…
Alhamdulillah,
kini aku tidak buta huruf lagi
maka setiap hari kita akan mendengarkan sebuah kisah;
bukan hanya kisah -
lebih adalah hidup;
dari mereka-mereka yang terbatas ini,
namun memiliki mimpi-mimpi yang tak terbatas
percaya nak!
bintang paling terang bersinar di langit paling gelap!
ucapan guru itu menyentuh hatiku
semangat menuntut ilmu semakin membara
membakar semua rasa lelah
rasa lelah yang setiap pagi menghabiskan waktu di pasar
sebagai kuli panggul.
<.9.>
Langkahku terhenti
Barang yang ada di tangan jatuh berserakan
Entahlah….
Hatiku mendadak risau
Di sergap rasa rindu
Ayah….
Bagaimana kabarnya beliau sekarang
Kenapa beliau tak kunjung menjemputku
Apakah memang beliau belum kembali
Atau memang benar
Beliau tidak akan pernah kembali
Di ujung jalan ku lihat seorang bapak bersama anaknya
Sangat jelas tergambar kebahagiaan dari wajah mereka
Sungguh, hati ini iri melihatnya
Dia
memperhatikanku
Yah,
anak kecil itu melihatku
Lengkap
dengan seragam sekolah
Buku,
tas, sepatu yang terlihat mewah
Ia
berjalan menghampiriku
Ini
uang untukmu
Anak
itu memberiku beberapa lembar uang
Ia
tersenyum dan berusaha meraih tanganku
Tidak
! terima kasih
Aku
memang butuh uang tapi aku bukanlah pengemis
Ayahku
selalu berpesan
Sekalipun
kau sudah hampir mati karena kelaparan
Jangan
pernah menjadi peminta-minta
Kita
memang tidak punya uang
Tapi
kita masih punya hati dan harga diri
Lebih
baik mati kelaparan
Daripada
harus menggantungkan nasib dengan meminta-minta
<.10.>
Mengintip
dari balik jendela
Kebiasaan
itu terus saja berlanjut
Hingga berlangsung selama 1 tahun
Dan
kini usiaku 9 tahun
Kemana
lagi ku harus melanjutkan hidup
setahun
sudah aku berkelana tanpa tujuan
Tidur
dimana saja saat kaki mulai lelah melangkah
Kolong
jembatan
Halaman
mesjid
Bahkan
tak jarang tidur di pinggir jalan
Kedinginan,
Sendiri dan kesepian
Kota
yang penduduknya seperti lautan manusia
Kemana
mereka ?
Kenapa
tak ada satupun yang mau melirik apalagi membantuku
Terbersit
di angan
Kapan
aku bisa kembali ke kampung
Melihat
gubuk kecil peninggalan ayah
Gubuk
sederhana Yang penuh dengan kenangan bersama mereka yang ku sayang
Ayah…
Ibu…
kakak…
Aku
merindukan kalian
<.11.>
Pagi
yang cerah di kota metropolis
Tak
ada yang berbeda
Semua
terlihat sama saja
Aku
berangkat ke pasar
Melakukan
apa saja yang bisa kulakukan untuk makan hari ini
Ribuan
manusia
Berlalu
lalang di depanku
Tak
ada yang peduli
Tak
ada yang memperhatikanku
Matipun,
aku akan tetap dihiraukan
mmm….
Kemana
budaya negeriku
Yang
masyarakatnya di kenal ramah
Baik
hati dan suka menolong
Atau
apakah mungkin
Budaya
itu hanyalah bagian dari rencana hebat yang sedang berjalan
Tolong…tolong…selamatkan
aku
Dengan tenaga yang tersisa aku memanggil mereka yang ku lihat
Aku terbaring lemah tak berdaya di
pinggir jalan
Saat
berjalan menuju sekolah
Tempat dimana aku biasa mengintip untuk belajar
Aku di
tabrak mobil
Aku
korban tabrak lari 2
<.12.>
anak
yang malang, aku !
Saat
membuka mata
Ku
dapati diriku terbaring lemah tak berdaya
Kaki
dan kedua tanganku penuh dengan balutan perban
Sakit,
perih, darah berlumuran di pakaianku yang compang camping
Aku
dimana ?
Apa
yang sudah terjadi padaku ?
Bapak tua itu memelukku
Kurasakan
Air matanya jatuh membasahi keningku
Tenanglah
nak,
Kamu
ada di rumah sakit
Bapak
tidak sengaja melihatmu terbaring di pinggir jalan
Berlumuran
darah
Karena
itu bapak membawamu ke rumah sakit
Tuhan…
Cobaan
apa lagi ini ?
Kenapa
Engkau tidak mengambil nyawaku saja
Mempertemukan
aku dengan ayah, ibu, kakak
Yang
telah lebih dulu Engkau renggut dariku
Aku
berteriak sekeras mungkin
Protes
pada takdir yang tak pernah memihakku
Mengeluh
pada keadaan yang selalu menyulitkanku
Dan
menuntut pada manusia-manusia yang tidak punya hati
<.13.>
Tiga hari aku menghabiskan waktu di rumah sakit
Kaki
kananku patah,
Butuh
waktu yang lama untuk kembali bisa berjalan
Bapak
tua itu,,,
Bapak
yang sudah merubah pandanganku
Bahwa
orang kaya itu sombong dan tak punya hati
Beliau
membiayai semua pengobatanku
Bahkan
beliau berencana akan menyekolahkanku
Sungguh,
hatinya bagaikan malaikat
Di
televisi rumah sakit
Aku
menyaksikan sebuah berita
Berita
dahsyat, meluluhlantahkan hati dan perasaanku
Astagfirullah…
Aku
fikir hanya aku yang menderita
Aku
fikir hanya aku yang tersiksa
Karena
itu aku begitu marah pada takdir
Mereka
melewati jembatan gantung
Kecil,
miring, rapuh
Nyawa
menjadi taruhannya
Bersekolah
bagaikan berjuang melawan maut
Berita
miris dari lebak banten 3
Baru
saja aku merasa tenang karena akan di sekolahkan
Sekarang
di depanku
Aku di
hadapkan pada kenyataan yang begitu memilukan
Ribuan
anak, tak terkecuali aku
Demi
seutas impian dan kebahagiaan
Rela
mempertaruhkan nyawa
Menyebrangi
sungai 4
Mendaki
gunung
Menelusuri
hutan 5
Hanya
demi seutas harapan
Masa
depan yang lebih indah
<.14.>
Perlahan….
Dengan
kesabaran hati yang selalu ku jaga
Setelah
mengingat nasihat-nasihat ayah dulu
Takdir
mulai memihak kepadaku
Aku
akhirnya bisa bersekolah
Belajar
dengan tenang
Tak
harus mengintip dari balik jendela
Aku
harus pintar
Aku
harus menjadi orang yang sukses
Aku
harus membalas semua kebaikan bapak yang sudah menolongku
Aku harus
membuktikan pada dunia
Bahwa mimpi itu bukan hanya milik mereka yang berduit
Bukan hanya milik mereka yang mempunyai kekuasaan
Tapi aku, anak malang yang yatim piatu
Juga berhak bermimpi dan merasakan manisnya kehidupan
bertahun-tahun
aku hidup dengan semangat yang begitu membara
menjadi
juara kelas
mengikuti
perlombaan-perlombaan
apapun
akan kulakukan demi menjadi orang yang hebat
kini
usiaku 25 tahun
tak
ada lagi aku si anak yang malang
aku
punya banyak teman
tak
ada kesedihan dalam hidupku
dan
aku sudah bekerja di salah satu perusahaan ternama
<.15.>
Bertahun-tahun
aku meninggalkan kampung halaman
Berpetualang
mencari kehidupan yang lebih baik
Meninggalkan
semua kenangan indah bersama keluarga yang aku sayang
Kini
Sudah saatnya aku kembali
Melihat
kembali cerita masa laluku yang kelam
Melihat
kembali gubuk sederhana dan tasbih peninggalan ayah dan ibu
Barang
paling berharga yang pernah kumiliki
Tapi
tidak….
Aku tidak pernah bermimpi untuk kembali melihat surat sederhana
yang pernah kutitip untuk ayah
Mungkin sudah usang
Terbang terbawa angin
Atau mungkin terkubur oleh pasir
Ayah, ayah, ayah
Kenapa belum kembali ?
Aku menjerit
Melihat surat itu masih ada di antara sisa-sisa reruntuhan gubuk
Tasbih peninggalan ibu, dengan setia menemani
Tak ada yang berubah
Ayah….
Aku pulang untuk membanggankanmu
Aku pulang untuk melihatmu tersenyum
Aku pulang untuk mengusap air matamu
Kemana engkau ayah ?
1.
Puisi
ini merupakan gabungan dari beberapa kisah nyata yang di gabungkan menjadi
sebuah cerita yang saling berkaitan.
2.
Berdasarkan
data Sub-Direktorat Pembinaan dan Penegakan Hukum Polda Metro Jaya, kasus
tabrak lari di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi selama Januari-Juli 2013
terjadi sebanyak 953 kali, dengan rata-rata lebih dari 120 kejadian per
bulannya. Dengan rincian, pada Januari terjadi sebanyak 140 kali, Februari
sebanyak 128 kali, Maret sebanyak 144 kali, April sebanyak 120 kali, Mei 136
kali, Juni terjadi 144 kali, dan Juli terjadi 141 kali.
Jumlah
kasus tabrak lari tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 1956 kejadian, dari
2087 kejadian di 2011. Jumlah korban tahun 2012 juga mengalami penurunan
menjadi 2094 jiwa, dari 2202 jiwa di 2011.
Pada
2012, korban tewas sebanyak 258 jiwa, luka berat 708 jiwa, dan luka ringan 1128
jiwa. Sementara itu, jumlah kerugian kendaraan bermotor sebanyak 1821 unit dan
materi sebesar Rp 2.295.450.000.
Pada
2011, korban tewas sebanyak 331 jiwa, luka berat sebanyak 672 jiwa, dan luka
ringan sebanyak 1199 jiwa. Sedangkan jumlah kerugian kendaraan bermotor
sebanyak 2008 unit dan materi sebesar Rp 2.068.710.000.
3.
Jembatan
gantung yang menghubungkan Desa Sangiang Tanjung dan Desa Pasir Tanjung, Lebak
Banten, pernah disorot dunia. Jembatan ini mendapat perhatian karena kondisinya
sudah tak layak dilalui.
Jembatan ini menjadi perhatian pejabat di Indonesia setelah
media dari Inggris, Daily Mail menulisnya. Media itu menggambarkan bagaimana
perjuangan anak-anak sekolah melalui jembatan tersebut.
Bahkan, Daily Mail menyamakan keberanian anak-anak sekolah
melewati jembatan itu seperti di film Indiana Jones. "Aksi mereka seperti
aksi di salah satu adegan di film Indiana Jones and The Temple of Doom,"
tulis Daily Mail.
bukan hanya di lebak Banten, tapi masih banyak daerah lain
di tanah air yang setiap harinya anak-anak yang mau ke sekolah harus bertaruh
nyawa melewati jembatan gantung yang begitu memperihatinkan. Sebut saja
Sulawesi utara, Surabaya, depok dan daerah-daerah pinggiran yang terabaikan di
mata pemerintah.
4.
Semangat anak-anak di pedalaman Kabupaten Sumba Timur, Nusa
Tenggara Timur (NTT) dalam menimba ilmu patut ditiru. Untuk mencapai ke sekolah
saja, mereka harus menempuh jarak berkilo meter.
Bahkan di tengah perjalanan, mereka harus rela menanggalkan
pakaian untuk masuk ke sungai dan melawan derasnya arus.
Potret keteguhan dan semangat anak-anak ini dapat dilihat
setiap hari di Kelurahan Maulumbi, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur.
Saat tiba di mulut sungai, anak-anak harus melepas pakaian
dan menjunjung buku serta tasnya untuk menyeberangi sungai yang lebar dan
dalam. Mereka harus mempertahankan tubuh agar tidak terbawa arus yang cukup
kuat.
Keprihatinan
ternyata tak hanya sampai di sini, setiap pergi dan pulang ke sekolah,
kekhawatiran akan ancaman buaya senantiasa menghantui para orangtua.
5.
Anak-anak di perkampungan terpencil di tengah hutan di Dusun
Ngapus, Desa Sumberaji, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, belajar
dengan fasilitas sangat sederhana di sekolah mereka. Dusun Ngapus terletak di
tengah hutan atau sekira 30 kilometer dari pusat kota Jombang.
Jumlah
siswa di SDN Sumebraji II sangat sedikit. Kelas 1 hanya tinggal empat siswa,
kelas 2 tak ada siswanya, kelas 3 empat siswa, kelas 5 empat siswa, sementara
kelas 6 tidak ada siswanya.
Komentar
Posting Komentar