Nama : Anisa
Nim : 10300112006
jurusan : Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di antara tujuan utama
dari syari'at Islam adalah mempertahankan atau menjaga jiwa manusia.
Berdasarkan hal tersebut, maka datang hukum-hukum syari'at dalam masalah yang
ada di masyarakat. Di antaranya hukum-hukum tersebut adalah perintah untuk
membersihkan diri dan bersuci dari najis yang hakiki seperti air kencing bayi.
Syari'at Islam telah
memperincikannya, karena najis-najis ini merupakan tempat di mana di dalamnya
terdapat banyak sumber (penyebab) yang membahayakan, seperti halnya penyebab
penyakit. Serta di dalam syariat Islam terdapat bermacam-macam pembersih atau
penyuci dari najis-najis tersebut. Hal itu tergantung pada jenis najis dan
bentuknya, di antara najis-najis tersebut ada yang bisa dihilangkan dan
dibersihkan dengan mencucinya dengan air atau menuangkan air di atasnya. Selain
itu ada pula yang dibersihkan dengan menggosoknya dengan tanah, atau dengan
menghilangkan najisnya atau dengan mengubahnya ke zat lain.
Dalam syari’at islam,
najis di kenal ada tiga macam yaitu najis mukhaffafah ( najis ringan ), najis
mutawassithah ( najis sedang ) dan najis mughallazhah ( najis berat ).[1] Dari pembedaan dan pembagian ini ada
yang berkaitan dengan pembedaaan antara air kencing bayi laki-laki, yang hanya
mengonsumi ASI saja dengan air kencing bayi perempuan. Maka syari'at Islam
menjadikan air kencing bayi laki-laki sebagai bagian dari najis mukhaffah
(ringan) dan cukup dibersihkan dengan percikan air di atasnya, sementara
syari'at menjadikan air kencing bayi wanita sebagai bagian dari mughalazhah
(besar atau berat) dan tidak sempurna cara penyucian atau pembersihannya
kecuali dengan mencuci sisa-sisanya dengan air.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaiamana
kedudukan air kencing bayi ?
2.
Bagaiamana
cara membersihkan/menyucikan air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan ?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya kedudukan air kencing bayi, dan bagaimana cara
membersihkan/menyucikan air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Air
Kencing bayi
Air Kencing bayi merupakan salah satu
najis yang apabila air kencing tersebut mengenai pakaian seseorang, maka
pakaian yang terkena air kencing tersebut harus di bersihkan. Dalam syari’at
islam di kenal beberapa macam najis, yaitu :
1.
Najis
mukhaffafah ( najis ringan )
Yang termasuk dalam kategori najis
mukhaffafah ( najis ringan ), yaitu kencingnya anak-anak yang belum makan
apa-apa selain air susu ibu.
2.
Najis
mutawasitah ( najis sedang )
Yang termasuk dalam kategori najis
mutawasitah ( najis sedang ), yaitu semua bangkai ( kecuali bangkai ikan air,
belalang dan mayat manusia ), darah, nanah, semua yang keluar dari dua jalan
muka dan belakang dan minuman yang memabukkan.
Hadits Nabi saw.:
“Dari
Abi Sa’id Al-Khudri r.a, ia berkata, bersabda Rasulullah saw., “air out dari
air.” (H.R.
Muslim yang asalnya dari Bukhari)
3.
Najis
mughallazhah ( najis berat )
Yang termasuk dalam kategori najis
mughallazhah ( najis berat ), yaitu anjing dan babi ( baik yang masih hidup
ataupun yang sudah mati, baik daging, air liur dan kotorannya ).[2]
Adapun cara-cara bersuci karena najis
yaitu dibagi atas tiga tingkatan menurut berat ringannya najis yang harus di
bersihkan, yaitu :
1.
Najis
Mukhaffafah ( najis ringan )
Cara
membersihkan ( mensucikan ) jenis najis ini yaitu bagi anak laki-laki cukup
dengan di percikkan air di atasnya saja. Tetapi untuk anak perempuan yaitu di
basuh dengan air yang mengalir sehingga hilang zat atau sifatnya begitu juga
air kencing orang dewasa.[3]
Dalam sebuah hadits disebutkan : “Dari
Ali r.a. bahwasanya Nabi saw berkata, “tentang air kencing anak-anak nayi yang
sedang menyusu ibunya, kencing anak perempuan di basuh dan kencing anak
laki-laki di siram dengan air.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmiqzi)
Mengenai
cara membersihkan air kencing bayi laki-laki di riwayatkan dari Ummu Qais binti
Mihshan r.a : ia membawa bayi laki-lakinya yang belum makan ( makanan tambahan
) kepada Rasulullah Saw. Beliau mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian,
anak itu kencing dan air kencingnya membasahi pakaian Nabi Saw, karenanya
belaiu meminta diambilkan air. Belaiau memercikkan air itu pada pakaiannya yang
terkena air kencing tanpa mencucinya.[4]
2.
Najis
Mutawassithah ( najis sedang )
Cara membersihkan jenis najis ini
yaitu dengan dua cara :
·
Sekedar
di alirkan air atas najis hukmiah ( yang diyakini adanya, tetapi tidak
kelihatan tercium dan terasa materinya )
·
Harus
di cuci sehingga hilang rupa bau dan rasa atas najis ainiyah ( kelihatan oleh
mata )
3.
Najis
mughallazhah ( najis berat )
Cara
membersihkan jenis najis ini yaitu mengharuskan penyucian tujuh kali ( satu
kali diantaranya dengan tanah )[5]
Hadits nabi saw.:
Dari
Abi Hurairah r.a. berkata : “ Telah bersabda Nabi saw., sucinya bejana (
perkakas ) salah seorang dari kamu apabila telah di jilat anjing, hendaklah
mencuci benda tersebut sampai tujuh kali, permulaan (dari tujuh kali ini) harus
dengan tanah/turab.”
(HR.Muslim)
Selain dari tiga jenis najis di atas,
di kenal juga najis ma’fu yaitu najis yang di ma’afkan. Dimana cara
menyucikannya adalah cukup menghilangkan dengan air bila najis itu kelihatan,
dan bila tidak kelihatan tidak di cucipun tidak mengapa/sah untuk menjalankan
shalat karena najis ini telah dima’afkan.[6]
Mengenai Bersuci, di kenal tiga macam
cara bersuci. Yaitu :
1.
Menyucikan
Badan
Adapun cara-cara menyucikan badan
sebagai berikut :
a.
Bersuci
dari hadats kecil dengan cara mengerjakan/mengambil air wudhu atau tayammum.
Cara bersuci ini dilakukan untuk menjalankan shalat, dan amalan lainnya yang
dicontohkan agama. Orang-orang yang dalam keadaan hadats kecil di sebut Muhdis,
hal ini disebabkan :
1)
keluarnya
sesuatu dari salah satu dua pintu buang air,
2)
Hilang
akal dengan sebab mabuk, sakit atau pingsan,
3)
Tidur,
kecuali terlena tidur dalam keadaan masih duduk, dan
4)
Menyentuh
kemaluan dengan telapak tangan
b.
Bersuci
dari hadats besar dengan cara mandi (mandi janabat) atau dengan tayammum bila
seseorang tidak memperoleh air atau tidak boleh memakai air lantaran sesuatu
hal. Tayammum adalah suatu ruhsah (keringangan) dalam hukum islam. Orang-orang
yang berhadats besar disebabkan oleh :
1)
Bersenggama
(jimak)
2)
Keluar
mani (sperma) ketika bermimpi atau dengan pengaruh syahwat, dan
3)
Haid
(menstruasi), nifas (puerpurium), dan keguguran janin (abortus)
Rasulullah saw bersabda : “ Dari Aisyah r,a. ia berkata, Fatimah
bin Hubaysi dating kepada nabi saw. Lantas ia berkata :” ya Rasulullah, saya
adalah wanita yang selalu darah istihadah (penyakit) maka saya jadi tidak suci,
adakah saya tinggal shalat ?” lantas Rasulullah saw bersabda, “ demikian itu
hanyalah keringat bukan darah. Apabila haid telah tiba (dating waktunya) maka
tinggalkan shalat, apabila kira-kira haid itu telah hilang maka basuhlah darah
tadi dari badanmu (mandi) dan shalatlah.”(H.R. Bukhari dan Muslim)
Di
samping mandi dikarenakan hadats besar, Rasulullah saw. Memerintahkan mandi
karena akan mengamalkan suatu amal ibadah atau setelah mengerjakan sesuatu
amalan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi : “Dari ‘Aisyah, ia berkata, “adalah
Rasulullah saw, mandi lantaran empat (perkara), yaitu lantaran janabat dan
dihari jum’at, dan lantaran berbekam, dan lantaran memandikan mayat”.
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan disahkan Dia oleh Ibnu Khuzaimiyah)
c.
Bersuci
sesudah keluar kotoran (kencing atau buang air besar) yang di sebut dengan
istinja’. Yaitu dengan cara menggunakan air atau dengan tiga buah batu, apabila
tiak didapati air. Bersuci dengan batu sebagai alat pembersihnya dinamakan
istijmar.
d.
Membersihkan
badan dari segala kotoran dan najis yang melekat, seperti darah, nanah, tinja,
kencing dan lain-lain.
e.
Mebersihkan
jasmani untuk menjaga kesehatan badan dan menghindarkan rasa jijik orang lain
dalam pergaulan.misalnya membersihkan mulut dari sisa makanan yang tinggal dan
membersihkan mulut dari bau makanan yang tidak sedap, menyikat gigi, mandi dan
sebagainya.
Rasulullah saw, pernah memerintahkan
untuk mencungkil sisa makanan yang tinggal di sela-sela gigi : “tidak ada yang
sangat membuat marah kedua malaikat daripada melihat sisa makanan yang tinggal
di sela-sela gigi pemiliknya padahal dia sedang mengerjakan shalat.” (H.R
Muslim)[7]
2.
Menyucikan
pakaian, bejana dan mesjid
a.
Mebersihkan
pakaian daripada najis dan kotoran adalah termasuk syarat sahnya shalat. Pada
waktu shalat sangat dianjurkan selalu memakai pakaian yang rapid an bersih dari
najis dan kotoran.
b.
Membersihkan
bejana dan alat-alat dapur dari najis. Apabila bejana dan alat-alat tersebut di
jilat anjing atau babi, maka harus di cuci tujuh kali dengan air yang suci lagi
menyucikan dan salah datu dicampur dengan pasir (tanah).
Nabi Muhammad saw, bersabda :
“bersihnya bejana salah seorang
daripada kamu apabila dijilat anjing bahwa ia harus menyucikan tujuh kali
(dengan air), yang pertama hendaknya dicampur dengan tanah.”
c.
Bejana,
piring, mangkuk, belanga yang terkena atau bekas tempat dari daging babi atau
khamar harus dibersihkan dan dicuci lebih dahulu, baru kemudian boleh
dipergunakan untuk tempat makan atau minum bagi seorang muslim.
d.
Mesjid
yang kecemaran najis anjing, harus dibersihkan dan dicuci dengan air yang
bersih. Islam juga menganjurkan kebersihan rumah dan lingkungan hidup, agar
bersih dari kotoran dan serangga yang menyebarkan kuman penyakit. Rasulullah
saw, memerintahkan untuk membuat situasi rumah dan pekarangan orang islam
selalu bersih dan sehat dengan sabdanya. “bersihkanlah rumah pekaranganmu”.
Bahkan membersihkan kerikil, duri dan kotoran yang dapat mengganggu pemakai
jalan adalah merupakan tindakan terpuji dan perbuatan itu disejajarkan dengan
bersedekah. Hadits Rasulullah saw, menjelaskan : “setiap langkah yang diayunkan
untuk pergi shalat adalah sedekah dan membuang gangguan jalan adalah sedekah.”
3.
Menyucikan
jiwa dan tingkah laku
Kebersihan rohani dan kesucian tingkah
laku adalah dua hal yang selalu dituntut oleh islam. Kesucian jiwa itu dimulai
dari tauhid, yaitu jiwa yang suci dari kepercayaan syirik dengan segala macam
bentuknya. Kemudian disusul dengan sikap mental yang suci, yaitu niat yang
ikhlas, perasaan yang lurus, pikiran yang kreatif dan cita-cita yang luhur.
Sebaliknya islam menentang mental munafik, riya (pamer), egoism dan jiwa yang
curang. Pendidikan kesucian rohani ditunjukkan caranya oleh Al-qur’an dengan
jalan selalu mengingat (zikir) kepada Allah swt. Sedangkan zikir yang paling
baik adalah yang dimanifestasikan dalam shalat. Itulah yang paling baik untuk
memberikan ketenangan jiwa bagi menusia. Allah swt berfirman :
QS.Thahaa ayat 14
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي
وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Terjemahnya : “ sesungguhnya aku inilah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, karena itu
sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.”
QS. Ar-Ra’ad ayat 28
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ
ۗأَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Terjemahnya : “ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi
tenteram.”
Sedangkan menyucikan tingkah laku
dimulai dengan membersihkan hidup dari perbuatan-perbuatan
bid’ah dan khurafat, artinya setiap muslim harus hidup sesuai dengan apa yang
diamanatkan Al-Qur’an dan apa yang disampaikan dan dicontohkan Rasulullah saw.
Menyucikan diri dalam tingkah laku
telah menjadi lapangan pembahasan tersendiri dalam ilmu tauhid, akhlak dan
tasawuf.
Dengan demikian , jelas bahwa islam
mengajarkan agar manusia hidup secara suci. Suci batin dan suci lahir, suci
akidah dan suci muamalah.[8]
Adapun manfaat dari bersuci yaitu
bersuci merupakan suatu usaha menghilangkan
kotoran atau najis pada diri seseorang agar menjadi suci, maka
bermanfaat untuk membersihkan kotoran yang mungkin terdapat bibit penyakit,
sehingga bersuci dapat menghindarkan terjangkitnya suatu penyakit tertentu.
Selain itu, dalam syariat islam,
bersuci baik dari najis setelah buang air maupun menyucikan benda-benda yang
terkena najis mempunyai beberapa manfaat atau hikmah, seperti :
o
Menjaga
kesehatan jasmani
Dari segi kesehatan, besuci sangat
besar manmfaatnya. Kita maklum bahwa benda-benda najis yang berasal dari dalam
maupun dari luar tubuh adalah benda-benda kotor yang bercampur dengan beberapa
macam bibit penyakit. Bibit penyakit tersebut akan dapat membawa mudarat bagi
manusia jika tidak segera dibersihkan. Jadi, dengan menyucikan tubuh dan benda-benda
yang terkena najis berarti telah melakukan usaha menjaga kesehatan.
o
Menjaga
kesehatan rohani
Bersuci dari najis selain bermanfaat
bagi kesehatan tubuh juga bermanfaat bagi kesehatan jiwa, karena kebersihan dan
kesehatan jasmani yang dicapai melalui bersuci akan menambah kepercayaan pada
diri sendiri.
o
Mendorong
manusia berakhlak mulia
Syariat bersuci berisi
ketentuan-ketentuan dan adab yang jika dilaksanakan dengan kesadaran dan
kedisiplinan akan menumbuhkan kebiasaan yang baik, ketentuan dan adab bersuci
dalam islam akan membentuk ajaran yang mempertinggi harkat dan martabat
manusia.
o
Mengingatkan
manusia kepada asal kejadiannya
o
Berfaedah
untuk mewujudkan kebersihan dan kesucian
o
Sarana
sahnya pelaksanaan ibadah
o
Pembuktian
awal ketundukan kepada Allah swt[9]
Meskipun sudah di jelaskan dengan
benar bagaimana cara bersuci dari najis, tetap saja masih banyak yang salah
dalam bersuci. Yaitu mengulangi wudhunya ketika sebagian anggota badan atau
bagian dari bajunya terkena najis. Padahal terkenanya badan orang yang berwudhu
dengan najis bukan merupakan hal yang membatalkan wudhu, sehingga cukup
membasuh bagian badan yang terkena najis.[10]
B. Perbedaan
cara membersihkan/menyucikan air kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan
Air kencing bayi hukumnya najis tanpa
membedakan apakah bayinya laki-laki maupun perempuan, apakah masih menyusu
maupun sudah disapih, hanya makan ASI saja maupun sudah makan makanan tambahan
selain ASI. Semuanya adalah najis berdasarkan dua dalil, yaitu; dalil keumuman
najisnya air kencing manusia dan dalil khusus najisnya air kencing bayi.
Adapun masalah mencuci ( menyiram )
pakaian yang dikencingi oleh bayi perempuan serta kebolehan untuk sekedar
membasuh pakaian ( memercikinya dengan air ) yang dikencingi oleh bayi
laki-laki, maka dalam hal ini ada tiga pendapat di kalangan para fuqaha.
Pendapat yang pertama mengatakan, bahwa wajib mencuci pakaian yang dikencingi
oleh bayi laki-laki. Namun, bagi bayi perempuan hanya ada sedikit perbedaan.
Sedang pendapat kedua mengatakan, bahwa pakaian yang dikencingi oleh kedua
jenis bayi itu boleh untuk dibersihkan dengan cara memercikinya. Dan pendapat
yang ketiga membedakan antara cara membersihkan pakaian yang dikencingi oleh
bayi laki-laki dengan yang dikencingi oleh bayi perempuan.
Pendapat yang terakhir inilah yang di
dukung oleh sunnah ( hadits ). Ini pula termasuk salah satu bukti keindahan
syari’at serta kesempurnaan hikmah dan maslahat yang dikandungnya. Adapun
perbedaan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dapat dilihat dari tiga segi.
1. Pertama, bayi laki-laki sangat sering
berpindah tangan dari satu orang kepada orang lain, baik orang laki-laki maupun
perempuan. Sehingga kencingnya merupakan sesuatu yang umum menimpa manusia,
karenanya apabila diperintah untuk di cuci, niscaya akan sangat menyulitkan.
2. Kedua, kencing bayi laki-laki tidak hanya
mengenai satu tempat, akan tetapi kencing itu terpancar di sana sini, sehingga
menyulitkan untuk mencuci tempat yang terkena kencing secara keseluruhan. Dan
ini berbeda dengan kencing bayi perempuan.
3. Ketiga, bahwasanya kencing wanita lebih bau
dibandingkan laki-laki. Adapun penyebabnya adalah suhu badan laki-laki yang
relative tinggi di banding suhu badan wanita. Sementara suhu panas badan dapat
mengurangi bau kencing dan dapat menghilangkan hal-hal yang tidak dapat
dihilangkan oleh suhu badan yang indah. [11]
Ketiga sebab tersebut cukup memberi
pengaruh. Karena itu, maka sangat tepat dijadikan alasan untuk membedakan hukum
terhadap dua permasalahan tersebut.
C. Keadaan
Pakaian yang di kencingi seorang bayi
Mengenai pakaian, Allah tidak akan
menerima shalat seseorang apabila di lakukan dengan pakaian yang kotor.
Termasuk tidak sah shalat dengan pakaian yang dikotori najis ( seperti air
kencing bayi ), kecuali jika di cuci hingga hilang bau, warna dan rasanya
walaupun harus membasuhnya hingga tujuh kali[12].
Memakai pakaian yang bersih ( suci )
pada saat shalat sangat dianjurkan. Adapun hadits-hadits lain tentang pelunya
bersih dan suci tiap-tiap shalat.
Sabda Rasulullah saw :
“Tidaklah
akan diterima shalat ( seseorang ) bila tidak dalam keadaan bersih.”
( Al-Jamik Al-Shoghir Jus II Hal.156 )
“kunci
shalat itu adalah kebersihan” ( Al-Jamik Al-Shoghir Jus 2 Hal.202 )
Maksud dari hadits di atas bukan hanya
sekedar pakaian saja yang harus bersih tiap-tiap shalat, akan tetapi meliputi
bersih hatinya waktu shalat dan tempatnya shalat. Karena ketiganya ketiganya
termasuk diantara syarat-syarat sahnya shalat.
Tempat shalat ini masih banyak kaum
muslimin yang belum memperhatikan kebersihannya. Misalnya, kamar mandi tempat
wudhu, tempat kencing yang temboknya sampai kuning bahkan baunya menyengat
hidung jarang di bersihkan. Hal ini perlu diperhatikan, karena tempat shalat
ini merupakan tempat-tempat yang suci dan terpuji yang harus di rawat, di sapu
setiap hari kalau perlu di pel setiap pagi dan sore seperti rumah kita
masing-masing.[13]
Walaupun kotoran tidak pasti najis,
sebaiknya kalau sudah di pandang kelihatan kotor segera di bersihkan, sesuai dengan
surah Al-Mudatsir ayat 4.
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Terjemahnya : “ Dan pakaianmu bersihkanlah.”
Jadi,
kaum muslimin jangan membiasakan berpedoman biar kotor asal suci, karena yang
bersih dan suci menjadi indah dipandang, kecuali keadaan darurat tidak menjadi
suatu halangan. Contohnya bangkai yang hukumnya najis haram dimakan, tetapi
kalau sudah terpaksa boleh di makan, demi keselamatan mempertahankan kehidupan
pada waktu itu[14]
Selain
itu, Di antara karakteristik perilaku beradab dalam islam adalah perhatian yang
tinggi terhadap kebersihan, perhatian yang tidak pernah ada tandingannya dalam
agama-agama sebelumnya, tidak pula dalam ajaran filsafat manapun. Islam telah
memasukkan kebersihan ke dalam aturannya yang bersifat ritual dan ibadah. Oleh
karena itu, kebersihan dalam pandangan islam hendaknya merupakan budaya
keseharian seorang muslim.
Sebagaimana
di maklumi bahwa islam telah mewajibkan atas setiap muslim dan muslimah
melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam, sebuah kewajiban yang
menjadikan seorang muslim senantiasa stand by dengan Allah sejak fajar hingga
terbenamnya mega malam. Shalat lima waktu layaknya kamar mandi ruhani yang
seorang muslim mandi di dalamnya sehari semalam sebanyak lima kali. Dengan
mandi ruhani ini ia membersihkan dirinya dari benik renik kesalahan dan
kejelekannya, seperti di firmankan Allah dalam Al-qur’an surah Hud ayat 114.
وَأَقِمْ
الصَّلاةَ طَرَفِي النَّهَارِ وَزُلَفاً مِنْ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ
يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِي
Terjemahnya
: “Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.”
Shalat
dalam islam mempunyai keistimewaan yang sangat luas dan besar dari
shalat-shalat dalam agama lain, di antaranya disyaratkan suci inderawi untuk
melaksanakan shalat. Apabila shalat adalah kunci surge, maka suci adalah kunci
shalat.
Kesucian
dan kebersihan ini ada dua macam : suci dari kotoran dan suci dari hadats. Suci
dari kotoran berarti sucinya badan orang yang shalat, pakaian yang ia pakai dan
tempat shalatnya, yaitu suci dari semua jenis kotoran yang di anggap jijik
seperti darah, bangkai, babi dan kotoran-kotoran manusia dan binatang.
Sedangkan suci dari hadats tidak berarti suci dari sifatnya inderawi, tetapi
dari sesuatu yang sifatnya maknawi, yaitu sesuatu yang apabila kita
melakukannya, kalau sesuatu itu berupa hadats kecil, agama mengharuskan kita
berwudhu, yaitu membersihkan anggota badan yang lebih banyak terkena debu dan
kotoran lainnya daripada anggota badan lainnya. Atau jika sesuatu ini berupa
hadats besar, agama mewajibkan kita mandi. Wudhu dan mandi diwajibkan atas
setiap muslim karena ada sebsb masing-masing yang sering terjadi secara
berulang-ulang, dan setiap muslim wajib menghadapinya dengan bersuci.[15]
Berbicara mengenai
kebersihan, islam sangat menjaga yang namanya kebersihan sebagaimana al-qur’an,
sunnah Nabi memperhatikan kebersihan yang di dasarkan atas beberapa
pertimbangan penting.
Pertama, kebersihan merupakan
hal yang di sukai Allah swt. Seperti di sebutkan dalam QS.Al-baqarah ayat 222.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Terjemahnya : “…sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyucikan diri.”
Allah juga memuji ahli mesjid Quba dan kecintaan mereka terhadap
kebersihan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS.Al-tawbah ayat 108
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ
فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُطَّهِّرِينَ
Terjemahnya : “ sesungguhnya mesjid yang didirikan atas
dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu
bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan
diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.”
Tidak heran kalau selanjutnya kebersihan atau kesucian merupakan
bagian dari iman, sehingga popular dikalangan kaum muslimin kini slogan
“kebersihan adalah bagian dari iman”. Sebagian mengira bahwa itu adalah hadits
padahal bukan hadits. Namun begitu, ada sebuah hadits sahih yang berbunyi : “
kesucian (al-thahuru) setengah dari iman.
Kata
“thahur (kesucian)” mengandung makna thaharah (bersuci), dan mencakup baik
kesucian maknawi yaitu kesucian dari syirik, munafik dan perangai yang buruk,
maupun kesucian maknawi. Jadi, suci dalam arti khusus dan suci dalam arti umum.
Kedua, kebersihan merupakan pangkal kesehatan dan kekuatan. Islam
senantiasa mendorong untuk selalu menjaga kesehatan badan dan kekuatan jasmani.
Kesehatan adalah sumber kekuatan bagi individu dan jamaah. Seorang mukmin yang
kuat lebih baik dan lebih disukai Allah dari seorang mukmin yang lemah. Badan
dalam pandangan islam merupakan amanat bagi seorang muslim, dengan begitu maka
ia tidak boleh melalaikan dan menelantarkannya serta membiarkannya menjadi
sarang penyakit. Rasulullah saw bersabda : “badanmu mempunyai hak atas kamu”
Ketiga, kebersihan merupakan syarat bagi keindahan atau untuk tampil
indah indah yang disukai oleh Allah dan Rasulnya. Dalam sebuah hadits shahih
dikatakan : “ sesungguhnya Allah itu
indah dan menyukai keindahan” [16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Air
Kencing bayi merupakan salah satu najis yang apabila air kencing tersebut
mengenai pakaian seseorang, maka pakaian yang terkena air kencing tersebut
harus di bersihkan. Dalam syari’at islam di kenal beberapa macam najis, yaitu
Najis mukhaffafah ( najis ringan ), Najis mutawasitah ( najis sedang ) dan
najis mughallazah ( najis berat. Dari ketiga jenis najis tersebut, air kencing
bayi masuk dalam kategori naji mughallazah ( najis berat ).
2.
Adapun
masalah mencuci ( menyiram ) pakaian yang dikencingi oleh bayi perempuan serta
kebolehan untuk sekedar membasuh pakaian ( memercikinya dengan air ) yang
dikencingi oleh bayi laki-laki, maka dalam hal ini ada tiga pendapat di
kalangan para fuqaha.
a.
Pendapat
yang pertama mengatakan, bahwa wajib mencuci pakaian yang dikencingi oleh bayi
laki-laki. Namun, bagi bayi perempuan hanya ada sedikit perbedaan.
b.
Pendapat
kedua mengatakan, bahwa pakaian yang dikencingi oleh kedua jenis bayi itu boleh
untuk dibersihkan dengan cara memercikinya.
c.
Pendapat
yang ketiga membedakan antara cara membersihkan pakaian yang dikencingi oleh
bayi laki-laki dengan yang dikencingi oleh bayi perempuan.
Pendapat yang terakhir inilah yang di dukung oleh sunnah (
hadits ). Ini pula termasuk salah satu bukti keindahan syari’at serta
kesempurnaan hikmah dan maslahat yang dikandungnya.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini,
diharapakan para pembaca yang ingin mendalami hal mengenai air kencing bayi dan
bagaimana cara membersihkan/menyucikannya dapat mencari referensi yang lebih
komplit. Dan semoga dengan makalah ini dapat memberikan sedikit kejelasan
bagaimana cara bersuci yang benar dari najis (air kencing bayi )
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Mashuri, Wagino. Kebersihan Dan Kesehatan. Jawa Timur;
PT.Garoeda Buana Indah Pasuruan. 1995.
Al-Qardlawiy, Yusuf. Sunnah,Ilmu
Pengetahuan dan Peradaban. Yogyakarta; PT.Tiara Wacana Yogya. 1996.
Ahmadi, Abu dan Soepomo. Pendidikan
Agama Islam. Solo; Tiga Serangkai. 1995.
Bin Abdussalam Bali, Wahid.
99 Kesalahan Dalam Besuci. Jakarta; Pustaka Azzam. 2005.
Kurniawan, Irwan. Shahih Al-Bukhari
Tentang Shalat. Bandung; Pustaka Madani. 1999.
Rosyidi, Ichwan dan Abidin, Slamet. Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah. Tegal; Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri. 1995.
Syauqi Al Fanjari, Ahmad. Nilai
kesehatan Dalam Syariat Islam. Jakarta; PT.Bumi Aksara. 1999.
Syafi’i, A. Shalat Yang
Khusyu’. Bandung; PT.Remaja Rosdakarya. 1994.
Taimiyah, Ibn dan Qayyim, Ibn. Hukum Islam Dalam Timbangan Akal dan Hikmah. Jakarta; Pustaka
Azzam. 2001.
[1]Abu Ahmadi dan Soepardjo, Pendidikan Agama Islam ( solo: Tiga
Serangkai, 1994 ), h.29
[2]Abu Ahmadi dan Soepardjo, Pendidikan Agama Islam ( Solo: Tiga
Serangkai, 1994 ), h. 29
[3]Abu Ahmadi dan Soepardjo, Pendidikan Agama Islam, h.29
[4]Irwan Kurniawan, Shahih al-Bukhari Tentang Shalat (
Bandung: Pustaka Madani, 1999 ), h.3
[5]A. Syafi’I MK, Shalat Yang khusyu ( Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994 ), h.31
[6]Ichwan Rosyidi dan Slamet Abidin,
Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah (
Tegal: Tiga Serangkai, 1995), h.17
[7]Ichwan Rosyidi dan Slamet Abidin,
Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah, h.6
[8]Ichwan Rosyidi dan Slamet Abidin,
Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah, h.13
[9]Ichwan Rosyidi dan Slamet Abidin,
Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah, h.18
[10]Wahid bin Abdussalam Bali, 99 Kesalahan Dalam Bersuci (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2005), h.139
[11]Ibn Taimiyah dan Ibn Qayim, Hukum Islam Dalam Timbangan Akal dan Hikmah
( Jakarta: Pustaka Azzam, 2001 ), h.151
[12]Ahmad Syuqi Al Fanjari, Nilai Kesehatan Dalam Syariat Islam (
Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h.23
[13]Wagino Ali Mashuri, Kebersihan Dan Kesehatan ( Jawa Timur:
PT.Garuda Buana Indah Pasuruan, 1995), h.67
[14]Wagino Ali Mashuri, Kebersihan dan Kesehatan, h.68
[15]Yusuf al-Qardlawiy, Sunnah, ilmu pengetahuan dan peradaban (
Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1996 ), h.421
[16]Yusuf al-Qardlawiy, Sunnah, ilmu pengetahuan dan peradaban (
Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1996 ), h.424
Komentar
Posting Komentar